<p>Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan berkas tanggapan akhir pemerintah kepada Ketua DPR, Puan Maharani pada rapat paripurna pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 5 Oktober 2020. DPR dan pemerintah mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang melalui rapat paripurna. Sembilan fraksi di DPR kembali menyampaikan pandangan mereka terhadap RUU Cipta Kerja dalam rapat paripurna. Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat tetap menolak seluruh hasil pembahasan RUU Cipta Kerja. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Nasional & Dunia

PAN Setuju UU Cipta Kerja, Tapi Ada 8 Catatan

  • Meskipun fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) menyetujui disahkannya RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker) menjadi Undang-undang, namun PAN memiliki sejumlah catatan kritis.

Nasional & Dunia
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Meskipun fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) menyetujui disahkannya RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker) menjadi Undang-undang, namun PAN memiliki sejumlah catatan kritis.

Saleh Partaonan Daulay, Anggota Komisi IX, Fraksi PAN mengakui tidak bisa menyuarakan dan memperjuangkan sejumlah catatan seorang diri. Karena itu, tidak semua catatan kritis itu bisa diakomodir dan dimasukkan dalam UU.

“Catatan-catatan kritis ini kami himpun dari masyarakat. Ini adalah akumulasi dari aspirasi yang disampaikan kepada Fraksi PAN,” kata Saleh melalui pesan WhatsApp, Senin, 5 Oktober 2020.

Catatan Fraksi PAN

Pertama, Fraksi PAN menilai bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja ini terlalu tergesa-gesa dan minim partisipasi publik.

Kedua, dari sektor kehutanan, Fraksi PAN menilai bahwa aturan yang ada dalam UU Ciptaker masih mengesampingkan partisipasi masyarakat, terutama dengan penghapusan izin lingkungan.

Selain itu soal penyelesaian konflik lahan hutan, masyarakat adat dan perkebunan sawit, serta tumpang tindih antara areal hutan dengan izin konsesi pertambangan.

Ketiga, di sektor pertanian, Fraksi PAN mendorong pemerintah agar keran impor pangan dari luar negeri tidak dibuka terlalu lebar. Pemerintah harus memproteksi hasil produksi pangan lokal untuk meningkatkan daya saing petani.

Keempat, Fraksi PAN menilai ketentuan dalam Pasal 49 tentang Jaminan Produk Halal yang didasarkan atas pernyataan pelaku (self declare) berpeluang besar melahirkan praktik moral hazard yang dilakukan pelaku UMK.

Petugas kepolisian mengenakan hazmat saat mengawal aksi unjuk rasa buruh di depan komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 30 September 2020. Aksi unjuk rasa terkait Omnibus Law Cipta Kerja oleh elemen buruh yang menilai panja baleg DPR RI bersama pemerintah belum sesuai harapan buruh. Aksi ini merupakan pemanasan jelang aksi mogok nasional buruh dan demonstrasi besar yang akan diadakan pada tanggal 6-8 Oktober 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Ihwal Buruh dan Pesangon

Kelima, di bidang ketenagakerjaan, Fraksi PAN belum melihat penjelasan lebih khusus mengenai aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing. Agar tidak menimbulkan multiinterpretasi, sebaiknya hal itu bisa dicantumkan secara spesifik dalam UU ini.

Keenam, Fraksi PAN menilai, penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65  dalam UU Ketenagakerjaan dapat berimplikasi pada dimungkinkannya semua jenis pekerjaan untuk diborongkan tanpa adanya batasan tertentu.

Dengan demikian akan melahirkan banyak pekerja kontrak yang tidak terproteksi dengan fasilitas-fasilitas yang telah diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan. Fraksi PAN menilai bahwa perusahaan-perusahaan nantinya bisa secara membabi buta menggunakan pekerja kontrak.

Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Ketujuh, dalam Pasal 88 B dijelaskan bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau hasil. Fraksi PAN menilai, ketentuan ini berpotensi melahirkan persoalan baru dan ketidakadilan bagi kesejahteraan pekerja/buruh, di antaranya penghasilan yang diterima bisa berada di bawah upah minimum yang seharusnya didapatkan pekerja/buruh.

Karena itu, Fraksi PAN menilai ketentuan ini hanya cocok diterapkan kepada pekerja profesional, bukan pekerja/buruh.

Kedelapan, Fraksi PAN menilai bahwa jumlah pemberian pesangon adalah tetap sebanyak 32 kali gaji. Hanya saja yang membuat berbeda ialah pesangon itu tidak saja dibayarkan oleh pemberi kerja, tetapi juga dibayar oleh Pemerintah.

Saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pemberi kerja wajib membayar pesangon sebesar 23 kali gaji. Sedangkan pemerintah membayar 9 kali gaji melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Hal ini jelas meringankan beban yang harus dibayar pengusaha atau pemberi kerja, serta tidak mengurangi hak buruh dalam menerima pesangon.

Namun Fraksi PAN menilai bahwa skema ini perlu diatur dan diperdalam lebih lanjut. Sebab skema JKP ini direncanakan juga akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN).

“Pandangan fraksi PAN ini telah disampaikan secara terbuka dalam rapat-rapat panja. Pandangan yang lebih lengkap juga disampaikan dalam rapat paripurna DPR RI. Fraksi PAN berharap agar kelahiran UU ini dapat membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas,” tegasnya.