Benjamin Netanyahu
Dunia

Parlemen Israel Sahkan UU Perombakan Peradilan, AS Kecewa Berat

  • Pemerintahan Biden menyatakan keprihatinannya setelah Knesset menyetujui RUU yang bertujuan membatasi kekuasaan Mahkamah Agung (MA) tersebut.

Dunia

Distika Safara Setianda

JAKARTA - Amerika Serikat (AS) kecewa berat atas keputusan parlemen Israel yang mengesahkan undang-undang (UU) perombakan peradilan yang memicu kerusuhan beberapa waktu terakhir. Israel dianggap menentang Presiden Joe Biden yang menyarankan negara sekutunya itu mencari konsensus politik alih-alih menyetujui RUU kontroversial tersebut. 

Pemerintahan Biden menyatakan keprihatinannya setelah Knesset menyetujui RUU yang bertujuan membatasi kekuasaan Mahkamah Agung (MA) tersebut. Dalam prosesnya, RUU tersebut direspons protes jalanan dari sebagian warga Israel hingga memicu kerusuhan di penjuru negara tersebut. AS serta negara-negara lain menyarankan Israel menunda dan bernegosiasi dengan oposisi.

Pemungutan suara yang akhirnya tetap terjadi, didorong oleh koalisi religius-nasionalis Benjamin Netanyahu, menunjukkan batasan kemampuan Biden untuk mengendalikan perombakan peradilan yang kontroversial. Bahkan setelah dia memberikan tekanan pada salah satu sekutu terdekatnya tersebut. 

Sekretaris Pers Gedung Putih, Karine Jean-Pierre, mengatakan Presiden Biden telah menyatakan pandangannya bahwa perubahan besar dalam sebuah demokrasi untuk bertahan harus didasarkan pada konsensus sebanyak mungkin. “Sangat disayangkan bahwa pemungutan suara hari ini dilakukan dengan mayoritas yang paling tipis,” ujarnya dikutip dari Reuters, Selasa 25 Juli 2023. 

Anggota parlemen pihak oposisi memboikot pemungutan suara yang didukung koalisi Netanyahu, yang dianggap paling sayap kanan dalam sejarah Israel. Beberapa jam setelah pemungutan suara, Netanyahu mengatakan bahwa pengadilan akan tetap independen.

Dia berharap dapat mencapai kesepakatan dengan oposisi mengenai perubahan peradilan pada akhir November. Biden, yang memiliki hubungan dingin dengan Netanyahu dibandingkan dengan mantan Presiden Donald Trump, berencana bertemu dalam kunjungan resmi akhir tahun ini. 

Namun para pejabat AS belum menetapkan tanggal atau setuju dengan pernyataan Israel bahwa mereka akan bertemu di Gedung Putih pada bulan September. Biden telah menunda memberikan undangan karena kekhawatiran atas rencana perombakan peradilan Netanyahu dan pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki.

Pertemuan Akhir Tahun

Kedua pemimpin ini pernah berselisih pendapat baik di hadapan publik maupun secara pribadi. Biden, seorang politisi dari Partai Demokrat, telah menyatakan bahwa Netanyahu harus menjaga independensi sistem peradilan Israel sebagai hal yang penting bagi demokrasi. Namun beberapa anggota parlemen dari Partai Republik menuduhnya ikut campur dalam urusan dalam negeri Israel.

Meski demikian, tidak ada tanda-tanda bahwa kritik Biden telah merusak kerja sama di bidang penting lainnya seperti kerjasama militer dan intelijen antara AS dan Israel. “Kami memiliki persahabatan lama dengan pemerintah Israel yang sebenarnya melampaui satu masalah tertentu,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller.

Pada sesi briefing rutin di Gedung Putih, Jean-Pierre mengulangi janji Biden bahwa komitmen AS terhadap Israel tetap “kuat dan tak tergoyahkan” dan tidak memberikan indikasi bahwa Washington bersedia menggunakan miliaran dolar bantuan militer kepada Israel sebagai tekanan.

“Amerika Serikat akan terus mendukung upaya Presiden (Isaac) Herzog dan para pemimpin Israel lainnya dalam upaya membangun konsensus yang lebih luas melalui dialog politik,” katanya.