Ratusan buruh dari berbagai elemen melakukan unjuk rasa menolak Permenaker No.2 Tahun 2022 tentang JHT yang dapat dicairkan setelah usia 56 tahun, di depan kantor Kemnaker, Jakarta, Rabu, 16 Februari 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Properti

Partai Buruh Tolak Tapera, Rawan Bancakan Korupsi

  • Sudah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah.

Properti

Debrinata Rizky

JAKARTA - Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak program Tapera dijalankan saat ini karena akan semakin memberatkan kondisi ekonomi buruh, PNS, TNI, Polri dan peserta Tapera.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal bahkan mengancam,  Partai Buruh dan KSPI sedang mempersiapkan aksi besar-besaran untuk menolak Tapera, Omnibus Law UU Cipta Kerja, dan program KRIS dalam jaminan kesehatan yang kesemuanya membebani rakyat.

“Tetapi persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera,” katanya dalam keterangan resmi pada Selasa, 29 Mei 2024.

Menurut Said Iqbal, setidaknya ada beberapa alasan mengapa program Tapera belum tepat dijalankan saat ini. Pertama, belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.

Bahkan Said mensimulasikan, iuran Tapera sebesar 3% (dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5%) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK.

"Sekarang ini, upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3% per bulan maka iurannya adalah sekitar Rp105.000 per bulan atau Rp1.260.000 per tahun. Karena Tapera adalah tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000,"lanjutnya

Jadi dengan iuran 3% yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera. Sudah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah.

Alasan kedua Tapera tidak tepat dijalankan saat ini adalah, dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30%. Hal ini akibat upah tidak naik hampir 3 tahun berturut-turut dan tahun ini naik upahnya murah sekali. Bila dipotong lagi 3% untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat.

Program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI dan Polri, dan masyarakat umum. Said menyoroti  jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana terjadi di ASABRI dan TASPEN.