erdogan netanyahu.jpg
Dunia

Pasang Surut Hubungan Turkiye-Israel

  • Hubungan Turkiye dengan Israel seringkali penuh badai namun secara umum menguntungkan

Dunia

Amirudin Zuhri

ANKARA- Meningkatnya angka kematian di Gaza membuat politisi Turkiye, terutama Presiden Recep Tayyip Erdogan, semakin lugas dalam mengkritik Israel.

Erdogan baru-baru ini mengatakan bahwa dia telah memutuskan hubungan sepenuhnya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas serangan gencar Israel. Meskipun dia tidak menurunkan tingkat komunikasi antar pemerintah.

 “Netanyahu bukan lagi seseorang yang bisa kita ajak bicara. Kami memusnahkannya dan membuangnya,” kata Erdogan pada 3 November 2023 sebagaimana dilaporkan Aljazeera.

Wolfango Piccoli, salah satu presiden kelompok penasihat risiko politik Teneo menyebut, komentar Erdoğan menunjukkan bahwa ia telah membuang, atau bahkan mengabaikan sama sekali, pemulihan hubungan yang selama ini dilakukan Turki dan Israel.

Upaya untuk memperbaiki hubungan tersebut terjadi setelah ketegangan yang terjadi selama satu dekade. Ini  setelah pasukan komando Israel menyerbu Mavi Marmara , sebuah kapal bantuan Turki, pada tahun 2010. Serangan tersebut  menewaskan 10 aktivis Turkiye. Kapal tersebut berusaha mendobrak blokade Israel dan mengirimkan pasokan kemanusiaan ke Gaza.

Pada  4 November, Kementerian Luar Negeri Turkiye memanggil kembali duta besarnya untuk Tel Aviv. Alasannya adalah  penolakan Israel  menerima gencatan senjata dan terus melanjutkan serangan terhadap warga sipil. Selain itu Israel juga menolak masuknya bantuan kemanusiaan secara bebas.

Pada  20 Oktober, Erdogan mengatakan operasi Israel sama dengan “genosida”. Dan pada rapat umum tanggal 28 Oktober, Erdogan menyebut Israel sebagai “penjahat perang” atas pemboman mereka di Gaza.

Pada hari yang sama, Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen mengeluarkan penarikan resmi seluruh diplomat Israel dari Turkiye . Menteri Perdagangan Turkiye, Omer Bolat pekan lalu juga mengatakan Volume perdagangan antara kedua negara juga turun 50 persen sejak 7 Oktober. Perpecahan ini merupakan yang terbaru dalam hubungan Turkiye dengan Israel yang seringkali penuh badai  namun secara umum menguntungkan. 

Awal Hubungan

Dikutip dari Al Jazeera, hubungan kedua negara dimulai sejak  Israel  mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara pada tahun 1948. Turkiye adalah negara mayoritas Muslim pertama yang mengakui kedaulatan Israel pada tahun 1949. Kurang dari setahun setelah mendeklarasikan kemerdekaan. Ankara secara resmi membuka kantor diplomatik pertamanya di Israel pada tahun 1950.

Meski begitu, dukungan Turkiye terhadap penentuan nasib sendiri Palestina tetap ada. Bahkan  ketika Turki berusaha menjaga hubungan dengan Israel tetap berjalan.

Selama Perang Enam Hari tahun 1967, Ankara ikut menyerukan agar Israel menarik diri dari tanah Palestina yang didudukinya. Daerah-daerah itu adalah  Tepi Barat, Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan . Namun Ankara  menolak tuntutan negara-negara Arab untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Tel Aviv. .

Pada tahun 1979, Yasser Arafat melakukan perjalanan ke Ankara untuk membuka kantor Organisasi Pembebasan Palestina. Tahun berikutnya, hubungan dengan Israel kembali tegang karena apa yang disebut Turkiye sebagai kebijakan Tel Aviv yang “tidak berdamai”. Termasuk keputusan Israel  mengklaim Yerusalem sebagai ibu kotanya.

Ankara kemudian mengakui Palestina sebagai sebuah negara pada tahun 1988.  Turkiye menjadi negara pertama yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel yang mengakui Palestina. Namun  Turkiye menolak memberikan status diplomatik penuh kepada utusan Palestina. Ini setelah ada keluhan dari Israel.

Ekonomi dan Pertahanan

Pada tahun 1980an, perdagangan dan pariwisata antara Turkiye dan Israel berkembang. Turkish Airlines  memulai penerbangan langsung ke Israel pada tahun 1986. Pada tahun 1993, seorang menteri luar negeri Turki mengunjungi Israel untuk pertama kalinya.

Sejak pertengahan tahun 1990-an, terdapat kerja sama yang erat di bidang pertahanan dan intelijen antara kedua negara. Keduanya didukung erat oleh Amerika Serikat dan memiliki kekhawatiran yang sama mengenai potensi ancaman dari negara tetangga seperti Suriah, Irak, dan Iran.

Dua perjanjian pertahanan ditandatangani pada tahun 1996. Ini  membuka jalan bagi kemitraan militer strategis yang mencakup peningkatan pesawat jet F-4 dan F-5, tank M-60 dan helikopter. Turkiye, Israel dan Amerika juga berpartisipasi dalam latihan udara dan laut bersama di Mediterania Timur hingga tahun 2009.

Turki melanjutkan hubungannya dengan Israel setelah kemenangan telak Partai Keadilan dan Pembangunan yang dipimpin Erdogan pada tahun 2002. Erdogan mengunjungi Tel Aviv sebagai perdana menteri tiga tahun kemudian. Dia  menampilkan dirinya sebagai mediator antara Israel dan Palestina.

Pada tahun 2004, Erdogan mengutuk pembunuhan pemimpin Hamas Ahmed Yassin yang dilakukan Israel. Erdogan menyebut tindakan Israel ini  sebagai “terorisme yang disponsori negara”. Sikap ini juga  mencerminkan dukungan Turkiye yang lebih luas terhadap Palestina dan Hamas.

Namun, selama kunjungan tingkat tinggi pada tahun 2006 dan 2007, Turki berupaya menyelesaikan ketegangan antara Suriah dan Israel. Khususnya  mengenai keterlibatan Suriah di Lebanon dan dukungan terhadap kelompok Palestina dan Hizbullah.

Pada tahun 2007, Menteri Luar Negeri Turki Abdullah Gul menawarkan bantuan untuk membebaskan tiga tentara yang ditangkap. Presiden Israel Shimon Peres pada saat itu berterima kasih kepada Turki, serta Mesir dan Jerman karena bantuan tersebut. Tetapi perang tiga minggu di Gaza pada tahun 2008-2009 memperkuat ketegangan antara Turki dan Israel.

Serangan terhadap kapal bantuan Turki Mavi Marmara menyebabkan perselisihan diplomatik, yang menyebabkan Ankara mengusir duta besar Israel. Hubungan resmi masih membeku hingga tahun 2016. Ketika kedua negara menyetujui kesepakatan kompensasi dan jalan menuju normalisasi hubungan.

Namun dua tahun kemudian, dua peristiwa menghentikan upaya normalisasi tersebut. Puluhan pengunjuk rasa Palestina dibunuh oleh pasukan keamanan Israel di pagar pemisah yang dibangun Israel di sekitar Gaza. Peristiwa kedua adalah keputusan Amerika memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Meskipun ketegangan diplomatik kembali meningkat, bisnis antara Turki dan Israel terus berkembang pesat. Antara tahun 2010, tahun terjadinya insiden Mavi Marmara, dan tahun 2021, volume perdagangan meningkat lebih dari dua kali lipat dari US$3,4 miliar menjadi US$8,4 miliar.

Selama dua tahun terakhir, Erdogan berupaya meningkatkan hubungan dengan Israel. Ini  sebagai bagian dari kebijakan luar negeri yang lebih luas untuk memperlancar hubungan yang retak dengan kekuatan regional seperti Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.

Tahun 2022 lalu, Presiden Israel Isaac Herzog mengunjungi Ankara dan duta besar ditunjuk di kedua ibu kota tersebut. Erdogan bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk pertama kalinya pada bulan September dan mereka berdua menjanjikan kerja sama yang lebih besar antara negara mereka.

Kengerian konflik Israel-Palestina saat ini dan retorika Erdogan yang semakin keras, tampaknya telah menggagalkan rencana tersebut.