<p>Ilustrasi belanja onlina. / Pixabay</p>

Pasar Ekonomi Digital RI 2025 Capai US$130 Miliar, Perlindungan Konsumen Jadi PR

  • Semakin besarnya pasar ekonomi digital yang diprediksi mencapai US$130 miliar setara Rp1.950 triliun, masih menyisakan pekerjaan rumah (PR) pada perlindungan konsumen.

Khoirul Anam

Semakin besarnya pasar ekonomi digital yang diprediksi mencapai US$130 miliar setara Rp1.950 triliun, masih menyisakan pekerjaan rumah (PR) pada perlindungan konsumen.

Berdasarkan riset Google dan Temasek 2019, ekonomi berbasis internet di Indonesia berkembang hingga empat kali lipat besarnya antara 2015 hingga 2019, yaitu mencapai sekitar US$40 miliar atau 3,57% dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2025, nilai ekonomi digital di Indonesia diprediksi mencapai US$130 miliar.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan, kelancaran lalu lintas TIK memungkinkan perubahan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, baik dalam kegiatan jual beli, pembayaran, pemasaran maupun alat untuk kegiatan produktif lainnya.

“Pemerintah perlu memperhatikan proporsi mereka yang tergolong sulit mendapatkan akses internet, baik itu latar belakang ekonominya hingga sebaran daerah yang rendah konektivitas internetnya. Akses internet dapat mendukung inklusi digital yang berdampak pada peningkatan potensi ekonomi,” kata dia di Jakarta, Minggu, 17 Mei 2020.

Di samping itu, jumlah penggunaan internet terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami kenaikan pengguna internet dari 10,92% populasi pada 2010 menjadi 43,52% populasi pada 2019. Namun, data yang sama juga menunjukkan bahwa ketimpangan digital banyak terjadi pada bottom of the pyramid (BOP), seperti masyarakat miskin, perempuan, lansia, dan penduduk dengan letak geografis timur Indonesia.

“Selain perluasan akses internet, perlindungan konsumen dan data transaksi ini juga perlu diperkuat. Revisi UU Perlindungan Konsumen dan legislasi Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi harus memastikan konsumen mendapatkan perlindungan yang konsisten untuk transaksi, baik secara langsung maupun online,” tambah Ira.

Diketahui, dalam sistem e-commerce, pihak ketiga sebagai penghubung memainkan peran penting untuk menengahi sengketa dan memfasilitasi ganti rugi antara pelaku usaha dan konsumen ketimbang pada transaksi secara langsung. Oleh sebab itu, menurut Ira, penting untuk memasukkan peran e-commerce dalam UU Perlindungan Konsumen.

Selain mengakui pihak ketiga, revisi UU tersebut perlu mengevaluasi penjualan kembali (reselling) secara online, penggunaan internet secara umum, aturan pengumpulan data, ketentuan yang adil untuk kontrak digital, transaksi konsumen dengan konsumen, transaksi lintas negara, hingga transaksi produk digital seperti perangkat lunak dan media.

“Revisi UU PK harus diselesaikan secepat mungkin agar dapat menjawab pertumbuhan ekonomi digital yang telah melampaui kemampuan kapasitas pemerintah dan desakan masalah yang muncul dari adanya celah hukum dan nonhukum,” lanjut Ira.

Menurut Ira, penyebab lemahnya perlindungan konsumen adalah adanya tumpang tindih peraturan dan lemahnya koordinasi antar lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menindak perlindungan konsumen. Saat ini konsumen masih bingung untuk melakukan pengaduan pada pemerintah sektoral karena belum terkonsolidasi dalam satu pintu.

“Oleh karena itu, perlindungan konsumen digital membutuhkan perlindungan data pribadi dan keamanan siber. Pihak legislatif dan eksekutif harus mencari masukan substansial dan memprioritaskan RUU Perlindungan Data Pribadi dan juga RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, di mana keduanya sudah termasuk di dalam Prolegnas prioritas pada periode 2020-2024,” terang dia.

RUU Perlindungan Data Pribadi harus ditetapkan dengan standar yang tinggi sehingga mampu mengakomodasi perlindungan data dalam kondisi yang bisa memastikan persetujuan pengguna, keamanan data, dan transparansi. RUU tersebut harus menetapkan standar yang realistis untuk pelaku usaha maupun konsumen yang berdasarkan skenario risiko dan keuntungan dari perlindungan data (pendekatan berbasis risiko atau risk-based approach).

RUU tersebut, lanjut Ira, juga perlu menetapkan standar yang realistis untuk kedua pihak dalam menyediakan platform kolaboratif di industri ini yang digunakan untuk menghubungkan, mensosialisasikan, mempromosikan, dan mengizinkan diskusi, inisiatif, dan respons bersama untuk masalah kepatuhan (kepatuhan kolaboratif).

“Perlindungan Personally Identifiable Information (PII), seperti nama, detail kontak, dan tanggal lahir juga perlu ditekankan dalam RUU ini,” kata dia. (SKO)