Ilustrasi Bitcoin. Sumber: Pixabay.com
Fintech

Pasar Kripto dan Saham AS Terkoreksi: Faktor-Faktor dan Dampaknya

  • Dalam situasi yang penuh tantangan seperti saat ini, investor perlu mengambil langkah yang hati-hati dan strategis.

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Pasar aset digital dan saham Amerika Serikat mengalami koreksi signifikan setelah rilis sejumlah data ekonomi terbaru dari negara tersebut. Harga Bitcoin, yang sebelumnya melonjak melewati angka US$100 ribu, kini kembali turun ke level US$96 ribu. Penurunan ini juga diikuti oleh penurunan mayoritas aset kripto lainnya seperti DOGE, AVAX, LINK, DOT, dan UNI, yang masing-masing mencatatkan penurunan lebih dari 10% hanya dalam kurun waktu 24 jam terakhir.

Koreksi yang sama juga terjadi pada pasar saham AS, dengan penutupan perdagangan pada Selasa, 7 Januari 2025, berada di zona merah. Penurunan terbesar dialami oleh sektor teknologi, di mana indeks Nasdaq Composite turun sekitar 1,9%. Saham Nvidia (NVDA), yang sebelumnya mencapai rekor harga penutupan, merosot lebih dari 6%, meskipun perusahaan tersebut telah memaparkan rencana ambisiusnya di bidang kecerdasan buatan (AI).

Kenaikan Imbal Hasil Obligasi AS: Tanda Kekhawatiran Pasar

Di pasar obligasi, imbal hasil Treasury AS bertenor 10 tahun meningkat sekitar 7 basis poin, mendekati angka 4,7%. Kenaikan ini mencerminkan meningkatnya ketidakpastian investor terhadap kemungkinan The Fed melanjutkan tren penurunan suku bunga pada rapat Federal Open Market Committee (FOMC) mendatang.

Menurut Fahmi Almuttaqin, analis dari Reku, koreksi pasar kripto dan saham AS ini dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran inflasi di Amerika Serikat. 

“Beberapa data ekonomi terbaru menunjukkan adanya tekanan inflasi yang lebih besar dari perkiraan, yang dapat memengaruhi keputusan The Fed terkait kebijakan moneter bulan ini,” ujarnya melalui hasil riset yang diterima TrenAsia, dikutip Kamis, 9 Januari 2025.

Data Ekonomi yang Menyulut Kekhawatiran

Data ekonomi yang dirilis menunjukkan aktivitas sektor jasa di AS melonjak ke level tertinggi dalam hampir dua tahun terakhir. Defisit perdagangan pun melebar sebesar US$4,6 miliar menjadi US$78,2 miliar, sementara rekrutmen tenaga kerja turun 125 ribu menjadi 5,269 juta. Kenaikan signifikan dalam aktivitas sektor jasa menunjukkan permintaan yang masih kuat, tetapi lonjakan biaya input turut menjadi sinyal bahwa inflasi tetap tinggi.

Laporan Institute for Supply Management (ISM) menunjukkan bahwa indeks PMI sektor jasa meningkat dari 52,1 pada November menjadi 54,1 di Desember. 

Angka ini melampaui ekspektasi ekonom yang memproyeksikan angka 53,3. Selain itu, indeks harga yang dibayarkan oleh bisnis jasa naik tajam dari 58,2 pada November menjadi 64,4 di Desember, level tertinggi sejak Februari 2023. Hal ini menegaskan bahwa inflasi masih menjadi tantangan besar bagi The Fed.

Baca Juga: Proyeksi Aset Kripto 2025: Prediksi Penurunan Harga Bitcoin hingga Level Terendah

Dampak pada Perdagangan dan Tenaga Kerja

Defisit perdagangan yang melebar, yang disebabkan oleh peningkatan impor, juga menjadi perhatian utama. Fahmi mengungkapkan bahwa pelebaran ini dapat menjadi dasar bagi kebijakan presiden terpilih, Donald Trump, untuk menaikkan tarif impor. Langkah ini, jika diambil, berpotensi mendorong inflasi lebih lanjut.

Di sisi lain, data pasar tenaga kerja juga menunjukkan dinamika yang menarik. Rekrutmen pekerja mengalami penurunan sebesar 125 ribu, meskipun jumlah lowongan pekerjaan naik sebesar 259 ribu menjadi 8,098 juta. Kondisi ini mungkin mencerminkan kehati-hatian pelaku usaha di tengah prospek ekonomi yang beragam.

Momentum Krusial: Data CPI dan Kebijakan The Fed

Fahmi menekankan pentingnya data inflasi Consumer Price Index (CPI) AS yang akan dirilis pada 15 Januari mendatang. Data ini akan menjadi penentu arah kebijakan suku bunga pada rapat FOMC pada 29 Januari. 

“Jika inflasi CPI hanya mengalami kenaikan minimal atau bahkan stagnan, pasar besar kemungkinan akan kembali bullish. Namun, jika inflasi menunjukkan kenaikan moderat, The Fed mungkin akan memilih untuk menahan suku bunga bulan ini,” jelasnya.

Selain itu, momentum pelantikan Donald Trump sebagai presiden pada 20 Januari juga dianggap sebagai potensi katalis positif bagi pasar kripto. “Kebijakan baru yang mendukung pasar aset digital dapat memberikan peluang untuk reli lebih lanjut di sektor ini,” tambah Fahmi.

Strategi Investasi di Tengah Ketidakpastian

Dalam situasi yang penuh tantangan seperti saat ini, investor perlu mengambil langkah yang hati-hati dan strategis. “Bagi investor yang lebih fokus pada fundamental, aset crypto berkapitalisasi besar bisa menjadi pilihan. Di platform seperti Reku, fitur Packs memudahkan investor untuk mendiversifikasi portofolio mereka dengan aset crypto blue chip hanya dalam satu transaksi,” ujar Fahmi.

Untuk pasar saham, fitur Insights di Reku dapat menjadi alat bantu yang berguna. Fitur ini merangkum informasi dengan analisis yang mudah dipahami, termasuk pemberitaan di media massa dan diskusi di media sosial. 

Selain itu, fitur Buzz Score memberikan notifikasi kepada investor ketika suatu saham AS menjadi viral, sementara Valuation Score membantu mengidentifikasi saham yang sedang undervalued. Quality Score, di sisi lain, menyoroti perusahaan dengan fundamental yang kuat.