Nasional

Patient Safety: Harga Mati! Apresiasi dan Tantangan bagi RS Indonesia

  • Data yang dilansir WHO menyebutkan, pelayanan kesehatan yang tidak aman merupakan salah satu dari 10 penyebab utama kematian dan kecacatan di dunia
Nasional
Amirudin Zuhri

Amirudin Zuhri

Author

JAKARTA- Memperingati 16 tahun hari Keselamatan Pasien, PERSI bersama IKPRS dan Penerbit Rayyana pada 21 Agustus 2021 menerbitkan buku berjudul Patient Safety: Harga Mati! Kajian, Sejarah, dan Panduan bagi Manajemen Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan. 

Buku setebal 330 halaman ini mengungkap sejumlah fenomena, fakta dan panduan yang diharapkan bisa menjadi acuan dan bahan pembelajaran bagi dunia rumah sakit dan kampus. 

Dalam sambutannya, Ketua PERSI dr. Kuntjoro Adi Purjanto menyatakan buku ini membahas perkembangan patient safety dengan pembahasan yang kronologis, sehingga pembaca bisa memahami mengapa pada tahap tertentu muncul suatu postulat,  tetapi segera diperbaiki atau diperkaya setelah ada pengkajian lebih lanjut.

 “Ini penting untuk meningkatkan pemahaman, terutama karena masalah patient safety bukan pola atau sistem yang harus dipahami kalangan profesional di bidang kesehatan semata seperti dokter atau perawat, tetapi juga harus dipahami masyarakat awam yang pada kondisi yang sedang tidak beruntung harus menyandang status sebagai pasien”, tuturnya.

Ketika bencana tiba, termasuk pandemi seperti Covid-19 menimpa dunia, semua dikagetkan dengan jumlah kematian yang cukup dahsyat. Namun, banyak yang tidak mengira, bahwa ada ancaman lain yang menghantui masyarakat, khsusnya mereka yang ingin sembuh dari sakitnya dengan mendatangi fasilitas kesehatan. Data dari WHO menyebutkan, sejumlah pasien ‘terancam’ keselamatannya. 

Data yang dilansir WHO menyebutkan, pelayanan kesehatan yang tidak aman merupakan salah satu dari 10 penyebab utama kematian dan kecacatan di dunia. 

Di negara-negara berpenghasilan tinggi saja diperkirakan terdapat satu dari setiap 10 pasien yang mendapatkan bahaya saat menerima perawatan di rumah sakit. Secara global, sebanyak empat dari setiap 10 pasien mendapat insiden membahayakan dalam pelayanan kesehatan primer dan rawat jalan. 

Kabar baiknya, kasus-kasus itu sebenarnya bisa dihindari karena hingga 80% dari insiden-insiden membahayakan tersebut dapat dicegah. Fakta-fakta itu mendorong WHO untuk mengingatkan semua pihak akan pentingnya “budaya” keselamatan pasien (patient safety). 

Indonesia, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dan sejumlah stakeholders bidang kesehatan sangat concern terhadap hal ini. Setelah WHO pada tahun 2004 mencanangkan Keselamatan Pasien, setahun kemudian, atau 16 tahun silam, tepatnya 21 Agustus 2005, Menteri Kesehatan saat itu, Siti Fadilah Supari, bersama Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) melakukan Pencanangan Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit. 

“Gerakan Keselamatan Pasien (Patient Safety) adalah upaya Kementerian Kesehatan dan PERSI untuk mendorong pengelola rumah sakit meningkatkan mutu layanannya dengan berpatokan pada prinsip-prinsip keselamatan pasien,” ujar dr. Nico A. Lumenta, ketua pertama organisasi nasional di bidang keselamatan pasien di Indonesia PERSI tahun 2005, yang kemudian berganti nama menjadi Institut Keselamatan Pasien Rumah Sakit (IKPRS) pada tahun 2012.

Menurut Nico, sejak 2019 World Health Organization (WHO) mengkampanyekan keselamatan pasien melalui World Patient Safety Day. Dalam kampanyenya disebutkan, tidak seorang pun boleh mendapatkan bahaya ketika sedang menjalani perawatan di fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan. Namun kenyataannya, ada 134 juta orang pasien rumah sakit per tahun yang mendapatkan bahaya akibat perawatan yang tidak aman di rumah sakit-rumah sakit negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Petaka itu berkontribusi pada kematian 2,6 juta orang setiap tahun di kelompok negara-negara tersebut.

Sebuah Ironi

Dalam salah satu kupasan dalam buku ini dijelaskan, menjadi sebuah ironi jika seseorang yang menderita sakit lalu mengunjungi rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan, tetapi pasca-penanganannya justru mendapat “bonus” penyakit baru atau sakitnya makin parah. Pihak tenaga kesehatan yang melayani sangat mungkin tidak bermaksud menambah penderitaan karena secara moral terikat kode etik profesi dan standar prosedur operasional dari profesinya. Akan tetapi, karena sistem pelayanannya tidak aman, petaka terpaparnya oleh bahaya baru bisa terjadi. 

Beberapa kesalahan yang kerap terjadi dan merugikan pasien misalnya medical error (kesalahan medis). Medical error adalah efek merugikan yang sebenarnya dapat dicegah dari pelayanan medis baik yang terbukti maupun tidak terbukti  membahayakan pasien. 

Medical error sering dianggap sebagai faktor human  error yang subjeknya sangat kompleks, mulai dari faktor ketidakmampuan, kurangnya pendidikan atau pengalaman, tulisan tangan yang tidak terbaca, hambatan bahasa, dokumentasi yang tidak akurat, kelalaian besar, dan faktor  kelelahan. 

Adapun jenisnya, mulai dari kesalahan pengobatan (medication error), kesalahan diagnosis, penanganan yang tidak memadai atau justru berlebihan, dan kecelakaan bedah. Kesalahan medis juga sering dikaitkan dengan usia pasien yang ekstrem, prosedur baru, urgensi, dan tingkat keparahan kondisi medis  orang yang sedang dirawat.

Perkembangan patient safety di Indonesia, seperti digambarkan di buku ini, relatif bersamaan dengan pengembangan yang dilakukan WHO (WHO 2004, Indonesia 2005). Oleh karena itu peran Indonesia dalam pengembangan patient safety di kancah regional WHO (WHO Regional Asia Tenggara) cukup tampak. Sumbangsih Indonesia tampak pula dengan lahirnya Deklarasi Jakarta 2007 yang mempertegas pentingnya peran “patient champions” (pasien yang mau berbagai pengalaman kepada dunia) dalam pengembangan patient safety.