<p>Nelayan menjemur ikan hasil laut di perkampungan nelayan kawasan Cilincing, Jakarta Utara, Minggu, 26 Juli 2020. Warga dan nelayan mengaku dampak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) akibat pandemi COVID-19 sangat berpengaruh terhadap perekonomian warga pesisir Jakarta Utara. Harga jual hasil laut nelayan merosot tajam, seperti harga jual ikan berkurang hingga setengah harga normal. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

PDB RI Merosot 5,32 Persen, Indef: Kebijakan Ekonomi RI Rapuh

  • JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut kontraksi ekonomi pada kuartal II-2020 sebesar 5,32% merupakan bukti rapuhnya kebijakan dan strategi ekonomi Indonesia. Klaim ini bukan hanya menyusul dropnya pertumbuhan ekonomi yang mencapai titik terendah sejak kuartal pertama 1999. Indef mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia telah menunjukkan pelambatan sejak capaian tertinggi pada […]

Industri

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut kontraksi ekonomi pada kuartal II-2020 sebesar 5,32% merupakan bukti rapuhnya kebijakan dan strategi ekonomi Indonesia.

Klaim ini bukan hanya menyusul dropnya pertumbuhan ekonomi yang mencapai titik terendah sejak kuartal pertama 1999. Indef mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia telah menunjukkan pelambatan sejak capaian tertinggi pada kuartal II-2018 sebesar 5,27%.

“Pandemi COVID-19 hanya konfirmasi akan rapuhnya strategi dan kebijakan ekonomi selama ini,” kata Indef dalam siaran pers, Kamis, 6 Agustus 2020.

Indef membeberkan bahwasannya pemerintah mengabaikan kemandirian, terutama pada tiga sektor andalan yaitu pertanian, industri, dan perdagangan. Ketiga sektor potensial yang harusnya menjadi bantalan pertumbuhan ekonomi justru tidak mendapatkan dukungan kebijakan yang mumpuni.

Selain itu, sektor yang selama ini dianggap paling resistan terhadap krisis ekonomi yakni usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga baru mendapat perhatian lebih kala pandemi, meskipun serapan stimulus UMKM dinilai belum agresif.

Dengan cerminan strategi dan kebijakan ekonomi saat ini, peneliti Indef menyangsikan kontraksi 5,32% kuartal lalu bakal jadi yang terendah. Sebab, jika kebijakan penanganan COVID-19 masih terlambat dan setengah-setengah, maka kontraksi lebih dalam bisa terjadi pada kuartal III-2020.

Rekomendasi Kebijakan

Atas dasar itu, Indef memberikan enam rekomendasi untuk melambatkan laju kontraksi. Pertama, pemerintah perlu menyiapkan strategi penyelamatan rakyat terlebih dahulu.

“Terbukti negara-negara yang berhasil mengatasi atau mengendalikan pandemi seperti di China dan Vietnam lebih cepat pulih ekonominya daripada Indonesia saat ini.”

Kedua, untuk mempercepat penanganan pandemi, kapasitas test PCR per hari harus ditingkatkan. Fasilitas kesehatan seperti ruang isolasi dan ventilator juga perlu diperbanyak untuk mengantisipasi ledakan pasien COVID-19.

Ketiga, permasalahan menahun terkait validitas data penerima bantuan sosial (bansos) merupakan salah satu hal yang mutlak. Alasannya agar distribusi bansos yang tepat sasaran menjadi syarat (necessary condition) dari pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi.

Keempat, tidak hanya perbaikan di tingkat regulator, Indef menilai kepatuhan protokol kesehatan masyarakat menjadi komponen penting tercapainya pemulihan ekonomi nasional. Di sisi lain, kedisiplinan dan kecepatan implementasi dan penyaluran stimulus pemerintah sangat diperlukan.

Kelima, kebijakan insentif bagi UMKM yang cepat dan tepat merupakan langkah kongkrit penghindaran resesi ekonomi. Sehingga, pemerintah bisa menempatkan UMKM sebagai salah satu sektor prioritas pemulihan ekonomi.

Keenam, merosotnya konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2020 menjadi minus 5,51% secara tahunan mengindikasikan daya beli masyarakat turun drastis. Dengan demikian, pemerintah perlu menjaga agregate demand dengan menjaga daya beli masyarakat.

Caranya dengan menstimulus permintaan, terutama rumah tangga petani, harus diusahakan oleh pemerintah seperti bansos dan padat karya. Dari sisi suplai, pasokan kebutuhan primer dan setidaknya tersier harus dijaga kuantitasnya dengan prinsip ketepatan harga dan tepat jumlah.

“Selain itu, menjaga kelancaran pasokan pangan harus menjadi prioritas utama.” (SKO)