PDIP Punya Alasan Kuat Tolak Revisi UU Pilkada, Bisa Jadi Preseden Buruk
- Apabila hal ini diingkari, maka menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum karena diberbagai negara pun tidak ada lembaga politik yang mengutak-atik putusan MK yang final and binding
Nasional
JAKARTA – Fraksi PDIP DPR RI menolak pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI.
Perubahan yang diusulkan dalam revisi UU Pilkada mencakup dua hal utama yaitu, persyaratan usia calon kepala daerah dan batas ambang pencalonan kepala daerah oleh parpol non-parlemen.
Anggota Fraksi PDIP DPR RI M Nurdin menegaskan, revisi UU Pilkada seharusnya sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan usia dan ambang batas pencalonan.
“Fraksi PDI Perjuangan menyatakan sikap tidak sependapat dengan rancangan UU tersebut untuk dibahas di tingkat selanjutnya,” ujar Nurdin di Ruang Rapat Baleg DPR, Senayan, Jakarta, Rabu 21 Agustus 2024.
- Anggaran Minim di 2025, Prabowo Tidak Fokus pada IKN?
- Balik ke Rp5.000, Sejauh Mana Saham Astra (ASII) Bisa Melaju Kencang?
- Membedah Peta Persaingan di Pilgub Jakarta Usai Putusan MK
Diketahui, DPR mendadak ingin merevisi UU Pilkada setelah MK dalam putusan Nomor 60 menyatakan, partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang mengikuti Pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dalam perkara terpisah, MK juga menyebutkan syarat usia pencalonan kepala daerah minimal 30 tahun dihitung sejak penetapan calon oleh KPU. Nurdin menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa Fraksi PDIP menolak RUU Pilkada.
Dia menyatakan, putusan MK termasuk putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dikeluarkan pada 20 Agustus 2024, seharusnya dijadikan dasar dalam revisi UU Pilkada. Menurutnya, keputusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak boleh diabaikan oleh lembaga politik mana pun.
Nurdin menyatakan, persetujuan mayoritas fraksi di DPR terhadap isi revisi UU Pilkada dapat menciptakan preseden yang buruk.
“Apabila hal ini diingkari, maka menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum karena diberbagai negara pun tidak ada lembaga politik yang mengutak-atik putusan MK yang final and binding,” tuturnya.
Fraksi PDIP juga akan mengajukan keberatan resmi jika pembahasan RUU ini tidak memperhatikan putusan MK Nomor 60 dan 70.
Menurutnya, atas revisi UU Pilkada, Fraksi PDIP memiliki beberapa catatan. Pertama, keputusan MK mengenai syarat usia pencalonan dan ambang batas pencalonan bersifat final dan mengikat, sehingga tidak boleh ditafsirkan ulang. Kedua, fraksi PDIP akan mengajukan nota keberatan jika revisi UU Pilkada tidak sesuai dengan dua putusan MK mengenai pilkada.
“PDIP berpendapat perlu mengikuti putusan MK karena telah diatur dalam batas usia maupun electoral threshold sesuai dengan Pasal 10 Ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2021 yang menyebutkan materi muatan yang harus diatur UU berisi tindak lanjut putusan MK,” sebut Nurdin.
Selain itu, fraksi PDIP menilai pembahasan revisi UU ini masih kurang melibatkan partisipasi masyarakat, padahal keterlibatan masyarakat seharusnya menjadi bagian penting dari proses pembentukan undang-undang.
“Berdasarkan catatan di atas, fraksi PDIP menyatakan sikap tidak sependapat dengan rancangan UU tersebut untuk dibahas pada tingkat selanjutnya,” ujarnya.
- Viral Peringatan Darurat, Kontroversi di Balik Revisi UU Pilkada
- Minim Investor, IKN Bisa Jadi Jebakan Utang
- Baleg Setujui RUU Pilkada, Siap Dibawa ke Paripurna
Sebagai informasi, semua fraksi kecuali Fraksi PDIP telah menyetujui isi revisi UU Pilkada. Pada dasarnya, revisi tersebut menetapkan batas usia calon kepala daerah dengan mengacu pada aturan Mahkamah Agung (MA), bukan pada peraturan Mahkamah Konstitusi.
Poin lain dari revisi UU Pilkada adalah mengizinkan partai politik non-parlemen untuk mencalonkan kepala daerah. Sementara, partai politik yang sudah memiliki kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat, yaitu memperoleh minimal 20% dari total kursi DPRD atau 25% dari jumlah suara sah yang diperoleh dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah tersebut.