Erfianty Owner Ayam Bakar Madu Hijrah (kiri) Jagakarsa, salah satu UMKM yang mendapatkan manfaat pendanaan dari OVO Finansial melayani pelanggan saat bazaar di Universitas Pancasila, Jakarta, Senin 30 Oktober 2023. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Perbankan

Pedang Bermata Dua Perpanjangan Restrukturisasi Kredit COVID-19

  • Wacana perpanjangan restrukturisasi kredit yang diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo untuk masyarakat terdampak Covid-19 hingga 2025 dinilai memiliki dampak dua sisi yang signifikan bagi sektor perbankan.
Perbankan
Alvin Pasza Bagaskara

Alvin Pasza Bagaskara

Author

JAKARTA – Wacana perpanjangan restrukturisasi kredit yang diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo untuk masyarakat terdampak COVID-19 hingga 2025 dinilai memiliki dampak dua sisi yang signifikan bagi sektor perbankan.

Pemerintah mengungkapkan relaksasi perpanjangan restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 bertujuan untuk mengurangi beban industri perbankan terkait pencadangan kerugian akibat gagal bayar Kredit Usaha Rakyat (KUR).

“Kami menilai bahwa jika usulan ini dilaksanakan, maka dapat berdampak positif bagi laba bersih bank dalam jangka pendek seiring penurunan beban provisi akibat pengkategorian ulang kredit yang bermasalah,” jelas Tim Research Stockbit Sekuritas dikutip pada Rabu, 26 Juni 2024.  

Namun, kata Stockbit, jika kredit yang direstrukturisasi tidak mengalami perbaikan, kebijakan ini dalam jangka panjang hanya akan menunda pengkategorian kredit sebagai macet. Asal tahu saja, relaksasi restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 dimulai pada Maret 2020 dan seharusnya berakhir pada Maret 2024.

Keuangan Bank Terbebani

Dengan berakhirnya relaksasi tersebut, kredit-kredit yang belum lancar pembayarannya tidak lagi dikategorikan sebagai lancar seperti saat kebijakan tersebut berlaku. Namun, akan dikategorikan sebagai kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL).

Jika dalam status lancar, bank tak perlu melakukan pencadangan atas kredit-kredit tersebut. Tapi begitu jadi NPL atau kredit masuk dalam restrukturisasi normal, bank harus membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), yang mengakibatkan keuangan bank terbebani. 

Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), outstanding restrukturisasi Covid-19 pada akhir Maret 2024 jumlahnya masih sangat besar, yakni Rp228,03 triliun. Oleh karena itu, OJK memberikan bank waktu untuk melanjutkan restrukturisasi yang telah dimulai.

Sebulan setelah berakhirnya kebijakan relaksasi restrukturisasi, outstanding restrukturisasi Covid-19 masih mencapai Rp207,4 triliun. Artinya, hanya terjadi penurunan sebesar Rp20,63 triliun dari jumlah sebelumnya. 

Mayoritas dari jumlah tersebut berasal dari kredit untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Dalam konteks ini, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) memegang porsi terbesar dalam outstanding restrukturisasi Covid-19, sesuai dengan fokus bank ini pada segmen UMKM. 

Menurut paparan kinerja emiten bersandi BBRI untuk kuartal I-2024, nilai restrukturisasinya mencapai Rp41,5 triliun dengan jumlah debitur sekitar 300 ribu. Sementara itu, outstanding restrukturisasi Covid-19 untuk PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) pada Maret 2024 tercatat sebesar Rp22,3 triliun.

Moral Hazard

Sementara itu, Ekonom Senior Indef Aviliani, kebijakan restrukturisasi seharusnya tidak diberlakukan secara umum, melainkan harus ditujukan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan dan memiliki prospek yang baik. 

Aviliani mengungkapkan bahwa penentuan penerima kebijakan seharusnya menjadi kewenangan perbankan. "Biarkan bank yang memberikan justifikasi. Namun secara keseluruhan, saya rasa kebijakan ini tidak menjadi masalah besar. Masih ada orang-orang yang membutuhkan bantuan. 

Namun, jangan diberlakukan secara menyeluruh. Banyak orang yang bisa memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan, loh," ujar Aviliani usai acara Talkshow Edukasi Keuangan Bundaku pada Selasa, 25 Juni 2024.

Aviliani juga menyoroti peran OJK dalam menerapkan kebijakan ini. Dia mengkhawatirkan bahwa para debitur yang telah mengikuti program restrukturisasi kemungkinan tidak akan diterima oleh bank lain.

"Jika seseorang yang telah direstrukturisasi kreditnya ingin pindah ke bank lain, dia mungkin tidak akan diterima. OJK melihat ini sebagai potensi moral hazard, di mana mengapa dia perlu pindah bank setelah direstrukturisasi? Bank mana yang mau mengambil risiko ini?" jelasnya.

Arah Usulan

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa perpanjang kebijakan restrukturisasi kredit merupakan arahan dari Presiden Jokowi yang akan diusulkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). 

“Tadi ada arahan bapak Presiden bahwa kredit restrukturisasi akibat daripada Covid-19 itu yang seharusnya jatuh tempo pada Maret 2024 ini diusulkan ke OJK, nanti melalui KSSK dan Gubernur BI untuk mundur sampai dengan 2025,” kata Airlangga di Jakarta pada Senin, 24 Juni 2024.

Merespons hal tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan dalam pemambilan putusan untuk pengakhiran dari rekstrukturisasi kredit Covid-19, OJK sudah menghitung dari segi dampaknya.

"Jadi, kalau dari segi itu [berakhirnya stimulus] sebenarnya yang terjadi maupun pada saat akhir Maret tempo hari, maupun setelahnya, tidak ada yang anomali," ujarnya setelah acara Talkshow Edukasi Keuangan Bundaku pada Selasa, 25 Juni 2024. 

Meski begitu, OJK paham atas usulan dari pemerintah agar restrukturisasi kredit Covid-19 diperpanjang. "Ada perhatian khusus terhadap potensi dari pertumbuhan kredit di segmen tertentu," ujarnya.