logo
Ilustrasi pengemudi ojek online.
Dunia

Pekerja Ojek Online di Berbagai Negara: Apakah Mereka Mendapatkan THR?

  • Di banyak negara, pekerja gig economy—termasuk pengemudi ojek online dan kurir aplikasi pengiriman—umumnya tidak mendapatkan THR karena mereka dianggap sebagai kontraktor independen, bukan karyawan tetap.

Dunia

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan hak bagi pekerja formal di Indonesia yang wajib diberikan sebelum hari raya keagamaan. Namun, bagaimana dengan pekerja di sektor gig economy, seperti mitra driver ojek online di Indonesia maupun di negara lain? Apakah mereka mendapatkan THR atau insentif serupa?

Di banyak negara, pekerja gig economy—termasuk pengemudi ojek online dan kurir aplikasi pengiriman—umumnya tidak mendapatkan THR karena mereka dianggap sebagai kontraktor independen, bukan karyawan tetap. 

Hal ini terjadi di negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, di mana perusahaan seperti Uber, Lyft, dan DoorDash hanya membayar pekerjanya berdasarkan jumlah pekerjaan yang mereka selesaikan tanpa kewajiban memberikan tunjangan tahunan atau hari raya.

Namun, beberapa perusahaan tetap memberikan insentif khusus saat musim liburan sebagai bentuk apresiasi terhadap pekerja mereka. Sebagai contoh:

  • Uber & Lyft (AS & Eropa): Kadang memberikan bonus kepada mitra pengemudi berdasarkan jumlah perjalanan yang mereka selesaikan selama musim liburan.
  • Gojek & Grab (Asia Tenggara): Beberapa kali memberikan insentif tambahan menjelang hari raya, meskipun sifatnya tidak wajib dan tergantung kebijakan masing-masing perusahaan.

Regulasi yang Mulai Berubah

Seiring berkembangnya ekonomi digital, beberapa negara mulai mengubah regulasi mereka untuk meningkatkan perlindungan bagi pekerja gig economy. Contohnya:

  • Spanyol: Pada 2021, pemerintah menerapkan Ley Rider, yang mewajibkan perusahaan seperti Uber Eats dan Glovo memperlakukan kurir mereka sebagai karyawan tetap. Dengan status ini, mereka berhak mendapatkan tunjangan seperti gaji tetap.
  • California, AS: Undang-undang AB5 sempat mewajibkan perusahaan gig economy memberikan hak karyawan kepada pekerja mereka. Namun, setelah adanya Proposition 22, perusahaan tetap dapat mengklasifikasikan mereka sebagai kontraktor independen tetapi harus memberikan tunjangan tertentu seperti asuransi kesehatan dan subsidi pendapatan minimum.

Dampak dan Tantangan Formalisasi Pekerja Gig di Indonesia

Di Indonesia, diskusi mengenai formalisasi pekerja gig semakin hangat, terutama terkait dengan tunjangan dan perlindungan sosial. Riset terbaru dari Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menunjukkan bahwa ekonomi gig memiliki peran signifikan dalam menekan angka pengangguran dan kemiskinan.

Menurut riset CELIOS, kota yang memiliki pekerja gig memiliki tingkat pengangguran 37% lebih rendah dibandingkan kota yang tidak terlayani oleh platform gig. Namun, meskipun menawarkan solusi terhadap masalah tenaga kerja, formalisasi pekerja gig juga membawa berbagai tantangan.

Pengurangan Manfaat Ekonomi Gig

Platform gig telah membuka kesempatan kerja di kota-kota kecil yang sebelumnya memiliki akses terbatas terhadap pekerjaan formal. 

Jika formalisasi diterapkan secara ketat, perusahaan platform gig bisa mengalami kesulitan untuk berekspansi ke daerah-daerah tersebut. Dampaknya, kesempatan kerja bagi masyarakat di daerah yang belum terlayani oleh ekonomi gig akan semakin terbatas.

Hilangnya Fleksibilitas, Daya Tarik Utama Pekerja Gig

Salah satu alasan utama pekerja memilih gig economy adalah fleksibilitas dalam memilih jam dan lokasi kerja. Jika formalisasi mengarah pada aturan jam kerja tetap, banyak pekerja gig yang mungkin kehilangan daya tarik pekerjaan ini.

“Banyak pekerja gig memilih model kerja ini karena fleksibilitasnya, baik untuk menyeimbangkan pekerjaan dengan studi, pengasuhan anak, maupun pekerjaan lain. Jika jam kerja mereka diatur secara kaku, daya tarik pekerjaan ini bisa menurun,” jelas Nailul melalui riset CELIOS, dikutip Kamis, 20 Februari 2025. 

Selain itu, jika pekerja gig diwajibkan bekerja di lokasi tertentu, mereka yang sebelumnya bekerja dari rumah atau berbagai lokasi akan kehilangan kebebasan tersebut.

Kompleksitas Implementasi Kebijakan

Ekonomi gig mencakup berbagai sektor, mulai dari pengemudi ride-hailing hingga pekerja lepas di bidang kreatif. Kebijakan yang terlalu kaku dapat berdampak buruk bagi keberlangsungan bisnis platform gig dan meningkatkan beban operasional perusahaan.

“Administrasi dan monitoring pekerja gig akan semakin kompleks jika formalisasi diterapkan tanpa mempertimbangkan karakteristik masing-masing sektor,” tambah Nailul.

Gugatan Mitra Driver dan Tuntutan THR

Di Indonesia, wacana formalisasi semakin berkembang setelah adanya gugatan dari mitra driver ojek online yang menuntut perusahaan aplikator memberikan THR. Hal ini menjadi salah satu contoh bagaimana posisi sebagai pekerja gig masih menjadi tantangan baru dalam dunia ketenagakerjaan di Tanah Air.

Menurut Nailul, tantangan utama dalam kebijakan pekerja gig adalah menemukan keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan model bisnis platform gig itu sendiri.

Low-Skilled Labor Trap dan Pentingnya Pengembangan Kapasitas

Meski menawarkan akses pekerjaan yang cepat, ekonomi gig juga dapat menjadi jebakan bagi tenaga kerja berkeahlian rendah atau low-skilled labor trap.” Banyak pekerja gig yang terjebak dalam pekerjaan sementara tanpa adanya jalur pengembangan keterampilan atau jenjang karier yang jelas.

“Pekerja gig perlu mendapatkan akses pelatihan dan pendidikan agar dapat meningkatkan keterampilan mereka dan bertransisi ke pekerjaan yang lebih mapan,” ujar Nailul.

Pemerintah diharapkan berperan aktif dalam menyediakan program pelatihan yang fleksibel, termasuk kerja sama dengan industri dan lembaga pendidikan untuk membantu pekerja gig meningkatkan keterampilan mereka.

Rekomendasi Kebijakan: Membangun Ekonomi Gig yang Berkelanjutan

Untuk memastikan keberlanjutan ekonomi gig tanpa menghilangkan fleksibilitas, riset CELIOS mengajukan dua rekomendasi utama:

  1. Meningkatkan Kapasitas Pekerja Gig
    • Mendorong program kejar paket sekolah bagi pekerja gig berpendidikan rendah.
    • Mengembangkan pelatihan dan pengembangan bisnis sesuai keterampilan pekerja gig.
    • Membentuk forum pekerja gig untuk meningkatkan kapasitas dan advokasi hak pekerja.
  2. Menjaga Keseimbangan Regulasi
    • Mengembangkan kebijakan perlindungan sosial yang fleksibel dan berbasis kontribusi pendapatan.
    • Memastikan regulasi tidak menghambat ekspansi platform gig ke daerah-daerah yang membutuhkan peluang kerja.

Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pendidikan, serta Kementerian Koperasi dan UKM disebut sebagai institusi yang memiliki peran penting dalam mengawal kebijakan terkait pekerja gig ini.