Pelibatan Berbagai Pihak Berpotensi Tingkatkan Efektivitas Kebijakan Pengendalian Tembakau
- JAKARTA - Upaya menekan prevalensi perokok membutuhkan kerja sama yang kuat antara pemerintah, ilmuan dan berbagai elemen terkait lainnya demi menghasilka
Industri
JAKARTA - Upaya menekan prevalensi perokok membutuhkan kerja sama yang kuat antara pemerintah, ilmuan dan berbagai elemen terkait lainnya demi menghasilkan kebijakan yang tepat, terukur, dan proporsional.
Peneliti Senior Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Profesor Achmad Syawqie menyampaikan pemerintah sebagai pihak pengambil keputusan dan pembuat kebijakan saat ini dituntut untuk bisa menyelesaikan masalah prevalensi perokok dan meminimalisir bahaya akibat konsumsi rokok oleh masyarakat. Di sisi lain, produksi rokok akan terus berjalan selama masih ada permintaan masyarakat.
“Permintaan masyarakat ini tumbuh karena berbagai latar belakang, mulai dari kebudayaan, kebutuhan atau untuk mendapatkan ketenangan di sela tekanan pekerjaan dan atau kerumitan lainya, juga sejumlah latar belakang lain,” ujar Syawqie.
Syawqie mengakui bahwa jalan terbaik untuk memutus rantai bahaya akibat merokok adalah dengan tidak memulai menggunakannya sama sekali atau sepenuhnya berhenti bagi yang sudah menggunakannya. Namun, berhenti merokok bukanlah hal mudah dan tidak bisa dilakukan secara instan.
- Alokasi Dana PEN 2022 Rp321,2 Triliun, Ini Rincian untuk 4 Klaster Utamanya
- Usai Kebakaran di Cilacap, Kilang Pertamina Mulai Garap Proyek 'Biorefinery'
- Bank Permata dan Chandra Asri Pakai Teknologi Blockchain untuk Transaksi Perdagangan
Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan setiap aspek dan latar belakang konsumsi tembakau dalam menentukan strategi dan kebijakan yang dianggap tepat untuk mengurangi prevalensi merokok dan dampak bahayanya.
“Dalam hal inilah pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak seperti ilmuan atau peneliti, konsumen, serta budayawan,” ujar Syawqie.
Dia menjelaskan, dari sisi budaya, pemerintah perlu berdiskusi mengenai nilai dan posisi tembakau dalam ritual kebudayaan yang memanfaatkan produk hasil dari alam tersebut serta meneliti kemungkinan apakah tembakau berpotensi tidak lagi diikutkan dalam ritual kebudayaan atau setidaknya menggantinya dalam bentuk yang lebih aman.
Dari sisi konsumen, pemerintah memahami bagaimana pola konsumsi dan hal apa yang sebenarnya dibutuhkan dari konsumsi tersebut, serta melihat potensi kemungkinan berhenti secara langsung. Hal ini juga termasuk meneliti apakah ada kemungkinan alternatif produk atau cara konsumsi lain untuk memenuhi kebutuhan yang konsumen cari pada rokok tetapi dengan potensi risiko lebih kecil, ketika mereka belum bisa atau tidak bisa melepasnya.
“Dalam hal inilah para peneliti dilibatkan dan didengarkan. Jadi, semua perlu bekerja sama, bahu membahu dan saling mendengar dalam menuntaskan masalah ini, tidak bisa hanya satu pihak atau tiap pihak bekerja sendiri-sendiri,” jelasnya.
Terkait keterlibatan ilmuan atau peneliti, menurut Syawqie, pemerintah diharapkan membuka diri untuk mengkaji sejumlah penelitian yang sudah dilakukan di dalam maupun luar negeri. Saat ini ada berbagai penelitian yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah, baik yang dilakukan oleh ilmuan di dalam maupun luar negeri.
Salah satunya adalah penelitian terkait perbedaan efek rokok versus rokok elektrik terhadap masalah mulut dan gusi yang dilakukan oleh dr. Amaliya atau penelitian yang dilakukan oleh peneliti luar negeri seperti Peter Hajek dan rekannya terkait efektivitas rokok elektrik versus produk terapi pengganti nikotin (NRT), dan lain-lain.
Jika penelitian tersebut dirasa belum cukup, pemerintah bisa mendukung peneliti dalam negeri untuk melakukan kerja sama penelitian serupa atau penelitian duplikasi untuk memperkuat hasil kajian yang sudah ada. Selain itu, bisa juga dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel dan aspek berbeda dengan tujuan yang sama, yakni mencari alternatif yang lebih rendah risiko, serta membuktikan potensi dan efektivitasnya.
Dengan demikian, pemerintah diharapkan bisa mendapatkan fakta yang akurat terkait produk tembakau alternatif yang ada saat ini, seperti rokok elektrik atau vape, produk tembakau yang dipanaskan, dan snus. Di samping itu, pemerintah juga bisa mendorong peneliti untuk mengembangkan produk tembakau alternatif baru yang lebih rendah risiko, sehingga semua produk yang tersedia serta kebijakan pendukungnya dibuat berdasarkan bukti yang teruji dan terukur untuk hasil yang lebih efektif.
“Produk-produk tembakau alternatif yang ada saat ini memang belum sepenuhnya bisa mengeliminasi efek buruk konsumsi tembakau, tapi kalau memang teruji secara ilmiah lebih rendah risikonya dibandingkan terus merokok, kenapa tidak? Konsumen berhak untuk mendapatkan berbagai pilihan produk, terutama jika ada produk yang risiko penggunaannya bisa semakin kecil. Dan ini butuh dukungan yang kuat dari pemerintah sambil kita melanjutkan penelitian mencari produk yang lebih baik lagi,” pungkasnya.