<p>Pekerja menyelesaikan proses pembuatan produk olahan jahe di industri rumahan kawasan Bugel, Kota Tangerang, Banten, Jum&#8217;at, 2 Oktober 2020. Produk Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) olahan jahe yang dijadikan sirup, serbuk dan permen jahe ini mendapatkan berkah ditengah pandemi, produksi dan penjualan meningkat tajam. Produk berbahan jahe menjadi tren dikalangan warga ditengah wabah corona. Warga mencari sirup olahan jahe untuk menjaga stamina  dan imunitas tubuh disaat pandemi Covid-19. Produk olahan jahe ditempat ini dijual dari harga Rp3 ribu hingga Rp35 ribu per buah. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia</p>

Peluang Fintech Lending Beri Kredit Online untuk UMKM Tanpa Jaminan

  • QRIS dapat dimanfaatkan bukan hanya sekedar untuk sistem pembayaran, melainkan sebagai gerbang terciptanya ekosistem ekonomi digital, terutama bagi sektor UMKM.

Drean Muhyil Ihsan

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) tengah merancang ekosistem digital untuk mendukung akselerasi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Caranya dengan mengintegrasikan sektor pembiayaan dan ekonomi melalui sistem digital, salah satunya Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).

QRIS sendiri merupakan standar QR Code besutan BI untuk pembayaran digital melalui aplikasi uang elektronik berbasis server, dompet digital, atau mobile banking.

Kepala Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen BI, Budi Hanoto menilai QRIS dapat dimanfaatkan bukan hanya sekadar untuk sistem pembayaran, melainkan sebagai gerbang terciptanya ekosistem ekonomi digital, terutama bagi sektor UMKM.

Payment itu akan menjadi jendela agar mereka (pelaku UMKM) bisa bankable, bisa dapat kredit, dan seterusnya,” ujarnya dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kamis 19 November 2020.

Menurutnya, QRIS bisa dikembangkan oleh para merchant UMKM sebagai alat transaksi untuk memenuhi kebutuhan produksinya, seperti pembelian bahan baku dan kebutuhan lainnya.

Jika itu terjadi, semua data transaksi pelaku UMKM yang telah tercatat dalam sistem QRIS, dapat diolah hingga menjadi payment scoring.

Ia menjelaskan, adanya payment scoring dapat memudahkan pelaku UMKM mendapatkan akses kredit tanpa jaminan. Nantinya, melalui payment scoring itulah lembaga pembiayaan dapat menilai kelaikan calon peminjamnya hingga menentukan jumlah pembiayaan yang sesuai.

“Kalau putaran-putaran itu sudah terjadi, kami bisa melakukan olahan data yang kuat di UMKM, namanya National Merchant Repository dan akan kami berikan Payment ID. Dari situ akan ketahuan dari sisi liquidity movement-nya, dan akhirnya muncul payment scoring,” papar Budi.

Ilustrasi kredit online fintech peer to peer (P2P) lending. / Shutterstock
Peluang Fintech Lending

Pada kesempatan yang sama, Dewan Pengawas AFPI sekaligus CEO KTA Kilat, Dino Martin menyatakan ketertarikannya pada roadmap milik BI tersebut. Menurutnya, gagasan itu bisa menjadi peluang tersendiri bagi industri fintech lending.

“Terkait persentasenya Pak Budi terus terang saya very very excited. Inilah masa depan,” tuturnya.

Sistem payment scoring yang dipaparkan oleh Budi memang tak jauh berbeda dengan mekanisme credit scoring yang dimiliki oleh industri fintech lending. Dan hal itu yang menjadi keunggulannya dibandingkan dengan industri perbankan konvensional.

Senada dengan hal tersebut, Budi melihat bahwa fintech lending bisa menjadi alternatif pembiayaan bagi UMKM dalam ekosistem yang tengah digodoknya. Sebab, fintech lending menawarkan kecepatan dan efisiensi dalam pemberian kredit pinjaman.

“Kalau soal pricing ya nanti kita lihatlah. Kalau demand dan supply-nya ketemu kan pricing-nya pasti akan lebih terjaga,” tuturnya.

Ketua AFPI terpilih Adrian Gunadi mengikuti sidang virtual MUNAS AFPI 2020 di Jakarta, Rabu, 30 September 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Pentingnya Ekosistem UMKM

Sementara itu, Wakil Ketua Klaster Fintech Produktif AFPI, Pamitra Wineka menjelaskan pentingnya ekosistem digital dalam sektor UMKM. Terbangunnya ekosistem dapat menciptakan data yang memudahkan fintech lending maupun entitas pembiayaan lainnya dalam memberikan fasilitas pinjaman kepada pelaku usaha.

“Satu hal yang penting menurut kami adalah ekosistem yang menurut saya perlu mendapatkan banyak dukungan dari pemerintah,” kata pria yang juga menjabat Chairman TaniFund tersebut.

Sebagai contoh di Tanihub Group. Sebagai perusahaan agriculture technology, Eka mengaku telah membantu para petani mendapatkan akses pembiayaan, baik dari Tanihub sendiri maupun channeling dari perbankan dan fintech lending lainnya.

Melalui ekosistem yang telah terbangun di platform Tanihub, kata dia, semua pencatatan terkait transaksi para mitra petani dapat dijadikan credit scoring bagi fintech lending maupun lembaga keuangan lainnya.

“Yang kita lakukan saat ini kepada petani yang telah berjualan di kita beberapa kali, bisa kita berikan pendanaan. Karena kita sudah tahu (profil) pertaniannya, lokasinya kita tahu ada di mana, penghasilannya berapa, dan lain-lain. Ini bisa digunakan sebagai scoring,” papar Eka. (SKO)