Peluang Merger Bank Syariah BUMN: Mampukah Jadi Jawara di Negeri Mayoritas Muslim?
Penetrasi bank syariah di Indonesia dinilai masih kecil, yakni di level 8,5%-9%. Angka tersebut sangat jauh dibandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia 40%-50% dan Timur Tengah yang mencapai 80%-90%.
Industri
JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan menggabungkan bank syariah pelat merah pada Februari 2021.
Menteri BUMN Erick Thohir menyebut, saat ini pihaknya tengah mematangkan kajian terkait merger bank syariah tersebut. Padahal, pada era Menteri BUMN Rini Marini Soemarno, rencana peleburan akan dilakukan kepada empat bank pelat merah.
“Kami sedang mengkaji bank-bank syariah ini. Nantinya coba kami merger menjadi satu,” ungkap Erick Thohir di Jakarta, beberapa waktu lalu.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Menurutnya, potensi perbankan syariah masih sangat besar dilihat dari jumlah penduduk muslim di Indonesia. Termasuk ke dalam 10 negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, saat ini terdapat kurang lebih 229,62 juta jiwa penduduk beragama Islam di Tanah Air.
Oleh sebab itu, Erick menilai keberadaan bank syariah akan memperluas jangkauan bagi masyarakat maupun dunia usaha yang lebih nyaman menggunakan sistem keuangan syariah.
Tanpa Riba
Resti Mahardika (24), salah satu nasabah bank syariah pelat merah pun mengaku bahwa prinsip keuangan bank syariah menjadi pilihannya dalam bertransaksi. “Menjadi nasabah di bank syariah itu karena tidak ada riba,” ujarnya saat dihubungi TrenAsia.com, Senin, 31 Agustus 2020.
Berdasarkan definisi umum, bank syariah merupakan bank yang operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip syariah di dalam Islam. Dengan kata lain, bank tersebut beroperasi dengan mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh agama Islam atau syariat Islam.
Kemudian jika dilihat dari fungsi, bank syariah menjalankan fungsi yang sama dengan perbankan konvensional. Namun, beberapa skema di dalam bank syariah disesuaikan dengan syariat Islam sehingga terdapat perbedaan dalam hal kegiatannya. Selain menggunakan prinsip akad, keuntungan bank syariah dihitung berdasarkan sistem bagi hasil, serta jumlah angsuran tetap hingga akhir pembiayaan.
Terkait rencana merger bank syariah, Resti mengaku bahwa dia belum pernah mendengar kabar tersebut sebelumnya. Ia sendiri mendukung penggabungan tersebut. Namun, apabila ke depannya terdapat perubahan prosedur bagi nasabah, ia mengaku urung.
“Kalau enggak bikin ribet aku atau nasabah, ya monggo saja, sih. Tapi kalau harus ribet ganti ini-itu dan lain-lain, (aku) enggak mendukung,” kata Resti.
Wacana terkait merger bank syariah memang bukan rencana baru di Indonesia. Sebelumnya, pada masa kepemimpinan Dahlan Iskan menjabat sebagai Menteri BUMN periode 2011-2014, isu ini sempat dibicarakan.
Lagu Baru, Kaset Usang
Saat itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah mengatakan bahwa bisnis perbankan syariah bank pelat merah masih rendah tingkat efisiensinya, terutama dalam hal investasi di sektor teknologi dan informasi, serta pembukaan kantor cabang.
Strategi mengenai pembentukan dan penyatuan bank syariah saat itu diharapkan agar bank syariah BUMN dapat berdiri sendiri dan terpisah dari bank induk konvensional.
Di samping itu, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengatakan, penggabungan bank-bank syariah BUMN tidak hanya untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah, melainkan untuk memperkuat kondisi perbankan secara nasional.
“Supaya lebih bisa mengembangkan sayap, bisa melayani proyek-proyek besar atau kegiatan ekonomi yang lebih besar,” ujarnya.
Berdasarkan data statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah bank umum syariah (BUS) di Indonesia per Juni 2020 ada 14 dengan jumlah kantor cabang mencapai 1.942 unit. Sementara itu, jumlah bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah (UUS) ada 20.
Secara keseluruhan, total aset BUS dan UUS per Juni 2020 mencapai Rp531,7 triliun, meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 sebesar Rp486,8 triliun.
Meskipun demikian, penetrasi bank syariah di Indonesia dinilai masih kecil, yakni di level 8,5%-9%. Angka tersebut sangat jauh dibandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia 40%-50% dan Timur Tengah yang mencapai 80%-90%.
Total Aset Raksasa
Erick pun menilai, rencana merger tersebut otomatis akan meningkatkan jumlah aset perbankan syariah. Tiga bank yang tergabung dalam Himpunan bank milik negara (Himbara), yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk atau Bank Mandiri memiliki tiga anak usaha berupa BUS, dan satu UUS dikembangkan oleh PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk alias BTN.
Menurutnya, modal paling efektif untuk mengembangkan bank syariah adalah konsolidasi atau merger. Dari ketiga BUS Himbara, aset terbesar dimiliki oleh Mandiri Syariah, kemudian diikuti oleh BNI Syariah dan BRI Syariah.
Pada semester I-2020, Mandiri Syariah membukukan aset senilai Rp114,34 triliun, naik 13,26% year-on-year (yoy) dari Juni 2019 yang sebesar Rp101,01 triliun. Perseroan juga membukukan laba bersih sebesar Rp719 miliar, naik 30,53% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp551 miliar.
Pada periode ini, dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun Mandiri Syariah tumbuh 16,52% dari Rp87,36 triliun menjadi Rp101,78 triliun. Di samping itu, pembiayaan juga tumbuh Rp75,61 triliun, naik 5,8% dibandingkan dengan Juni 2019 sebesar Rp71,47 triliun.
Sementara itu, BNI Syariah membukukan aset pada semester I-2020 senilai Rp50,76 triliun, tumbuh 19,46% yoy. Namun, laba bersih perseroan turun 15,43% menjadi Rp266,64 miliar. Pada periode yang sama tahun lalu, bank ini mampu menghasilkan laba bersih Rp315,27 miliar.
Sama halnya dengan laba, pembiayaan BNI Syariah juga turun 1,07% yoy dari 31,66 triliun per Juni 2019, menjadi Rp31,33 triliun pada semester I 2020. Namun, DPK masih meningkat cukup tinggi 20,15% yoy dari Rp36,32 triliun per Juni 2019 menjadi Rp43,64 triliun per Juni 2020.
Kemudian, BRI Syariah melaporkan peningkatan kinerja pada semester I-2020. Aset perseroan naik 14,97% yoy menjadi Rp49,6 triliun dibandingkan Rp43,1 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Selain itu, laba bersih juga tumbuh pesat 229,67% yoy dari Rp35,6 miliar per Juni 2019, menjadi Rp117,2 miliar per Juni 2020.
Pembiayaan yang telah disalurkan BRI Syariah sebesar Rp37,4 triliun, naik 36,69% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp27,4 triliun. Untuk DPK, bank ini menghimpun sebesar Rp41,1 triliun atau naik 20,35% yoy dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp34,1 triliun.
Selanjutnya, UUS BTN Syariah pada paruh pertama tahun ini berhasil membukukan aset sebesar Rp31,09 triliun atau tumbuh 6,56% yoy dibandingkan dengan semester I-2019 sebesar Rp29,18 triliun. Laba bersih perseroan Rp100,33 miliar pada periode ini.
Sementara itu, BTN Syariah juga mencatatkan perolehan DPK sebesar Rp20,8 triliun per semester I 2020. Perolehan laba bersih tersebut ditopang oleh pertumbuhan pembiayaan syariah sebesar Rp23,88 triliun per Juni 2020.
Apabila ketiga BUS tersebut melakukan merger, maka total aset perbankan syariah milik Himbara akan menjadi Rp214,7 triliun. Sementara itu, jika digabungkan dengan UUS BTN, total aset menjadi Rp245,79 triliun.
Dorong Ekspansi
Direktur Utama BRI Sunarso pun mendukung rencana penggabungan tersebut. “Menurut saya, merger merupakan hal yang baik karena akan mendorong efisiensi dan memperluas jaringan layanan,” ujarnya dalam konferensi daring, pekan lalu.
Ia sepakat bahwa market share keuangan syariah, termasuk perbankan syariah di Indonesia masih kecil. “Oleh karena itu, kami mempunyai spirit untuk meningkatkan market share di industri keuangan syariah,” tambahnya.
Selain itu, kata Sunarso, merger memungkinkan bank dapat lebih efisien dalam berinvestasi. Setiap bank syariah, ujarnya, memiliki target pasar, tujuan penggunaan, dan produk yang relatif sama. Dengan demikian, efisiensi dapat dijalankan dari sisi investasi, salah satunya infrastruktur.
Kemudian, merger juga dinilai dapat memperbesar kualitas bank syariah agar memiliki kompetensi yang lebih baik.
Senada dengan BRI, Direktur Utama Mandiri Syariah Toni EB Subari mengatakan, rencana merger merupakan hal menarik yang akan membuat pangsa pasar bank syariah semakin besar.
“Jika bank syariah dari BUMN ini merger, maka akan masuk dalam kelompok 10 bank besar secara nasional,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Toni, tujuan pemegang saham untuk mengawinkan anak-anak usaha di bidang perbankan syariah agar mereka dapat tumbuh lebih solid dan sejajar dengan perbankan lainnya.
Pro dan Kontra Merger
Terkait hal ini, tanggapan pro maupun kontra datang dari sejumlah pengamat. Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti Bambang Rianto Rustam menilai baik rencana merger ini. “Rencana ini tepat karena minimnya perkembangan ekonomi syariah di Indonesia,” ujarnya.
Menurutnya, tiga bank pelat merah juga memiliki positioning yang saling melengkapi. Mandiri Syariah, misalnya, berfokus pada segmen kredit korporasi, BRI Syariah menyalurkan pembiayaan di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta BNI Syariah yang fokus ke consumer banking.
“Kompetensi bank syariah bisa saling melengkapi,” kata Bambang.
Di sisi lain, terbatasnya jumlah bank syariah tersebut dinilai oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah kurang positif untuk mendorong perbankan syariah.
“Saat ini, jumlah bank syariah di Indonesia masih relatif terbatas,” kata Piter.
Oleh karena itu, ujarnya, pemerintah lebih baik terus mendorong bank-bank syariah BUMN untuk tetap tetap bersaing sehingga semakin bertumbuh.
Perbankan syariah yang merupakan bagian dari ekosistem halal, harus didorong ekspansi bisnisnya terlebih dahulu. “Jika pemerintah ingin mendorong perbankan syariah, maka perlu dilakukan pengembangan bisnis halal secara progresif,” ujarnya. Tanpa strategi itu, lanjutnya, rencana merger tidak menjamin dapat memperluas pendanaan perbankan syariah.
Selain itu, kepemilikan saham juga harus dipertimbangkan oleh pemerintah. Consulting Partner RSM Indonesia Wiljadi Tanmenyarankan, kepemilikan saham hasil dari merger bank syariah, harus langsung dikuasai oleh pemerintah dengan menerbitkan saham Dwi Warna.
Pasalnya, bank syariah BUMN mayoritas sahamnya dimiliki oleh induk usahanya, yakni bank yang sudah berstatus go public. Secara konsep, idealnya bank syariah pelat merah harus memiliki target untuk meningkatkan pendapatan, pangsa pasar industri perbankan syariah dan pelayanan kepada nasabah yang lebih optimal dan menjangkau seluruh Indonesia.
Merger dilakukan sebagai upaya untuk mendongkrak pendapatan dari meningkatkan kualitas layanan. Meskipun demikian, katanya, kenaikan pendapatan itu akan diimbangi oleh biaya gaji pegawai yang lebih besar.
Profitabilitas Bank Syariah
Jumlah karyawan BUS dan UUS terbilang banyak. Pada semester I 2020, OJK melaporkan jumlah tenaga kerja mencapai 55.209 karyawan, meningkat dibandingkan dengan Juni 2019 sebanyak 53.089 karyawan. Adapun jumlah kantor mencapai 2.332 unit yang tersebar di seluruh Indonesia.
Namun, tingkat pengembalian ekuitas (return on equity/ROE) dinilai akan membaik seiring menurunnya biaya modal. Pemerintah pun menargetkan pasar ini mampu tumbuh hingga 20% pada 2023-2024.
Pada semester I 2020, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) BUS sebesar 21,2%, meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu 19,56%. Sementara itu, rasio kualitas pembiayaan atau non-performing-financing (NPF) juga baik karena mengalami penurunan dari 3,36% per Juni 2019 menjadi 3,34% per Juni 2020. Meskipun demikian, UUS justru mencatatkan kenaikan NPF dari 3,09% per Juni 2019 menjadi 3,42% pada periode ini.
Namun, dilihat dari kaca mata lain, Ketua Pengurus Pusat Muhamadiyah Anwar Abbas menyarankan agar merger tidak dilanjutkan. Hal ini diharapkan untuk mendukung pengembangan sektor UMKM di Indonesia. Ia mengkhawatirkan, sektor tersebut semakin tidak diperhatikan pasca-merger dilakukan.
Menurutnya, semakin besar sebuah bank, semakin besar pula kecenderungannya terdorong menyalurkan pembiayaan di segmen korporasi. Segmen tersebut dianggap lebih praktis, meskipun jumlah tenga kerja di segmen UMKM lebih besar.
“Seharusnya dapat dilakukan bagaimana pemerataan ekonomi secara keadilan. Jangan malah semakin dipersulit,” ungkapnya. (SKO)