Pemberitaan Media Online Dinilai Masih Diskriminatif Terhadap LGBT
- Dampak pemberitaan yang diskriminatif berpotensi memperparah kekerasan dan persekusi terhadap kelompok minoritas.
Nasional
JAKARTA—Pemberitaan sejumlah media online dinilai cenderung diskriminatif terhadap kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Kecenderungan itu semakin tampak menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Dampak pemberitaan yang diskriminatif berpotensi memperparah kekerasan dan persekusi terhadap kelompok minoritas.
Temuan tersebut disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam laporannya, Senin 6 Maret 2023. Dalam riset, AJI berkolaborasi dengan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan organisasi non-pemerintah yang membela hak kelompok LGBT, Arus Pelangi. Pengecekan dilakukan pada 113 berita media daring sepanjang Januari dan Februari 2023.
Dari pengamatan ketiga lembaga tersebut, mayoritas media online berskala lokal maupun nasional belum memberikan berita yang berperspektif gender dan melindungi hak LGBT. Media masih cenderung memuat pernyataan pejabat pemerintah dan politikus yang menyerukan anti-LGBT. Pernyataan tersebut berpotensi menguatkan permusuhan, kebencian, diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok tersebut.
“Media lebih banyak mengamplikfikasi dan mempromosikan kebijakan diskriminatif melalui pernyataan politis dan pejabat,” ujar Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Ika Ningtyas.
Sejumlah contoh kasusnya yakni media yang mengutip pernyataan Medan anti-LGBT dari Wali Kota Medan Bobby Nasution. Ujaran menantu Presiden Joko Widodo itu kemudian diikuti pejabat publik di Makassar, Bandung, Garut, Kalimantan Utara, dan Sampang yang mendorong pembentukan Rancangan Peraturan Daerah anti-LGBT. Di Makassar, raperda anti-LGBT menjadi prioritas pembahasan dalam program legislasi daerah.
- Ini Hobi Seru yang Juga Baik untuk Kesehatan Mental
- Uji Coba Neuralink Ke Otak Manusia Ditolak FDA
- Duka Kembali Landa Warga Tanah Merah Plumpang
Sementara di Garut, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat menampung usulan pembentukan raperda anti-LGBT dari organisasi masyarakat. Arus Pelangi menilai raperda itu akan menambah daftar panjang aturan yang diskriminatif terhadap LGBT. Sejauh ini terdapat 48 regulasi anti-LGBT di Indonesia.
Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat memiliki surat edaran pencegahan LGBT, Bogor mengeluarkan Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual, dan Pemerintah Kota Pariaman, Sumatera Barat memiliki Perda yang mengatur LGBT.
Tercatat, sebanyak 1.840 LGBT menjadi korban persekusi sepanjang 2006 hingga 2018. Selain menjadi corong pernyataan yang cenderung diskriminatif, media masih banyak menggunakan diksi yang sarat stigma. Rinciannya yakni LGBT perilaku menyimpang sebanyak 29 kali, LGBT dilarang oleh agama 28 kali, dan LGBT melanggar norma susila atau budaya 13 kali.
“Diksi diskriminatif mempertebal stigma dan melanggengkan diskriminasi terhadap minoritas LGBT,” kata Manajer Advokasi SEJUK, Tantowi Anwari.
Adapun, daerah yang pemberitaannya diskriminatif terhadap LGBT ada 11, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Riau.
Pemantauan pemberitaan tentang LGBT itu memperlihatkan maraknya hasrat politisasi identitas mendekati Pemilu 2024. Pesta politik mendorong politisi untuk berkontestasi meraup dukungan pemilih dengan menggunakan isu paling gampang dan populis yakni LGBT.
Melalui temuan itu, AJI Indonesia, SEJUK, dan Arus Pelangi mendorong media massa untuk menulis berita yang inklusif terhadap kelompok minoritas LGBT, menghormati keberagaman, dan menggunakan perspektif hak asasi manusia sesuai prinsip Deklarasi Universal HAM. Setiap jurnalis wajib menaati Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers.
“Media massa perlu ekstra hati-hati dengan pola-pola penggunaan politik identitas jelang 2024,” ujar Ika Ningtyas.