Pemerintah Perlu Racik Ulang Stimulus untuk Cegah Kemiskinan
JAKARTA – Rentannya lonjakan angka kemiskinan pada penduduk rentan miskin dan hampir miskin yang berjumlah 66,7 juta jiwa perlu ditanggulangi dengan tepat dan cepat sebagai respons pandemi COVID-19. Pasalnya, ketidakmampuan kelompok ini memenuhi kebutuhan dasarnya, khususnya yang bukan penerima jaring pengaman sosial pemerintah akan berpotensi memperlambat proses penanggulangan pandemi. “Selain itu, meningkatnya jumlah penduduk miskin […]
Industri
JAKARTA – Rentannya lonjakan angka kemiskinan pada penduduk rentan miskin dan hampir miskin yang berjumlah 66,7 juta jiwa perlu ditanggulangi dengan tepat dan cepat sebagai respons pandemi COVID-19.
Pasalnya, ketidakmampuan kelompok ini memenuhi kebutuhan dasarnya, khususnya yang bukan penerima jaring pengaman sosial pemerintah akan berpotensi memperlambat proses penanggulangan pandemi.
“Selain itu, meningkatnya jumlah penduduk miskin dan rentan miskin yang tidak terjangkau bantuan sosial pemerintah berpotensi memicu naiknya angka kriminalitas, yang belakangan ini sudah semakin marak,” kata Muhammad Ishak Razak, ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Selasa, 5 Mei 2020.
Mendesaknya pemerintah memprioritaskan kelompok rentan dan hampir miskin ini membuat Core Indonesia mengeluarkan lima rekomendasi sebagai bentuk jaring sosial.
Pertama, mengantisipasi lonjakan angka kemiskinan akibat pandemi yang diperkirakan akan lebih besar dibandingkan dengan jumlah bantuan sosial yang disiapkan pemerintah saat ini.
Saat ini, pemerintah menargetkan penerima Program Keluarga Harapan (PKH) yang dianggarkan pemerintah selama pandemi adalah 10 juta keluarga dengan alokasi anggaran Rp37,4 triliun atau Rp3,7 juta per tahun.
Sementara, Kartu Sembako ditargetkan sebanyak 20 juta keluarga dengan 3 anggaran Rp43,6 triliun, yang terdiri dari Rp200 ribu per bulan selama sembilan bulan, termasuk Rp600 ribu untuk 1,776 juta keluarga di Jabodetabek selama tiga bulan.
Selain itu, ada transfer cash dari Program Kartu Prakerja untuk 5,6 juta peserta senilai Rp600 ribu selama empat bulan. Di samping terus memperbaharui data penduduk miskin dan rentan miskin yang layak mendapatkan bantuan sosial, pemerintah perlu meningkatkan anggaran Bantuan Sosial dan memperluas jumlah penerima bantuan kepada penduduk yang jatuh miskin akibat C0VID-19.
Perluasan Stimulus
Kedua, mengintegrasikan penyaluran Bantuan Sosial sehingga menjadi lebih sederhana, melakukan penyeragaman nilai bantuan, di samping terus melakukan pemutakhiran data penerima Bantuan Sosial.
“Di banyak tempat, berbagai bentuk Bantuan Sosial yang berbeda-beda jenis dan jumlahnya telah menimbulkan ketegangan sosial di sejumlah daerah,” ujar Ishak.
Ketiga, mengurangi beban pengeluaran masyarakat khususnya masyarakat miskin dan hampir miskin, terutama dengan menurunkan biaya-biaya yang dikontrol pemerintah (administered prices). Di antaranya, menurunkan harga BBM yang menjadi salah satu komponen terbesar pengeluaran penduduk miskin (5% untuk penduduk miskin di kota dan 4% untuk penduduk miskin di desa).
Selain itu, menambah jumlah rumah tangga penerima diskon pemotongan tarif listrik sehingga mencakup minimal seluruh pelanggan 900VA. Lalu, menurunkan harga LPG tiga kilogram yang kebanyakan dikonsumsi oleh masyarakat menengah bawah. Ini juga sejalan dengan harga propane dan butane yang menjadi bahan baku utama LPG yang turun tajam.
Kemudian, memberikan diskon atau menggratiskan tarif air untuk rumah tangga khususnya di daerah-daerah yang menerapkan PSBB.
“Banyak negara-negara berkembang telah mengadopsi kebijakan ini, seperti Malaysia dan Thailand.”
Kelima, meningkatnya intervensi pemerintah seperti merealokasi sebagian anggaran belanja modal dan belanja barang APBN, dan melakukan pembagian beban (burden sharing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan mengalihkan sebagian anggaran Transfer Ke Daerah dan Dana Desa, untuk dialokasikan menjadi anggaran Bantuan Sosial.
Selain itu, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa negara berkembang lainnya, pemerintah juga perlu melakukan renegosiasi pembayaran utang luar negeri kepada kreditur asing baik lembaga ataupun negara;
Ishak juga menilai alokasi senilai Rp150 triliun untuk mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional lebih baik direalokasi untuk kegiatan anggaran social safety-net dan peningkatan anggaran penanggulangan COVID-19.
Terakhir, merealokasi anggaran program Kartu Prakerja yang digunakan untuk membayar program pelatihan senilai Rp5,63 triliun.
“Program ini tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini, khususnya angkatan kerja yang menganggur akibat PHK,” tambah Ishak.