<p>Penyelesaian proyek PLTU Batang saat ini masih terus berlangsung dan diharapkan bisa beroperasi komersil di akhir Tahun 2021. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Industri

Laporan Khusus: PLTU Batu Bara Disetop, Siapkah Indonesia Transisi ke EBT?

  • Pemerintah menargetkan penggunaan batu bara bisa menurun hingga 60% pada 2050.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Pemerintah menargetkan penggunaan batu bara bisa menurun hingga 60% pada 2050. Hal ini dilakukan untuk menekan dampak krisis iklim sekaligus sebagai upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).

GRK dianggap berbahaya karena merupakan faktor utama dalam peningkatan suhu global. Secara rinci, bauran energi primer pada 2050 yang ditargetkan meliputi batu bara 39%, gas 12%, minyak 17%, dan energi baru terbarukan (EBT) 32%.

Jika strategi ini diterapkan, penggunaan batu bara pada 2050 akan mencapai 285 juta ton. Hasil akhirnya, pemerintah berharap akan ada penurunan tingkat emisi GRK menjadi sekitar 550 juta ton karbondioksida ekuivalen.

Belum lama ini, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pun mengatakan, secara bertahap Indonesia akan menghentikan operasional pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan fokus mengembangkan EBT.

Menurutnya, energi fosil sudah tak menarik lagi. Para investor global pun tak melirik karena penggunaannya terus memicu pemanasan global.

“Pemanasan global yang sekarang membuat bumi ini makin panas. Kalau sampai naik 1,5 derajat (celsius), itu akan punya dampak yang tidak bagus,” kata Menko Luhut.

Harga Kompetitif, Produksi Batu Bara Digenjot
Ilustrasi pertambangan batu bara. / Pixabay

Namun, di sisi lain produksi batu bara sendiri terus digenjot oleh perusahaan pertambangan mineral dan batu bara. Tahun ini, rencana produksi batu bara nasional yang ditetapkan sebesar 550 juta ton.

Direktur utama Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan pihaknya optimistis terhadap penjualan batu bara tahun ini. Menurutnya, pemulihan ekonomi sudah menunjukkan titik terang lantaran harga batu bara juga sedang tinggi.

Seperti diketahui, pergerakan Harga Batu Bara Acuan (HBA) terus menguat ke angka US$100,33 per ton pada Juni 2021. HBA ini naik US$10,59 per ton dibandingkan dengan Mei 2021, yaitu US$89,74 per ton.

Bahkan, harga tersebut merupakan yang tertinggi sejak November 2018 yang pada saat itu sebesar US$97,90 per ton.

“Mumpung harga sedang bagus, jadi perusahaan tambang pasti menggenjot penjualan,” ujarnya saat dihubungi TrenAsia.com. Ia pun optimistis dapat mencapai target produksi yang ditetapkan.

Berdasarkan laporan APBI, realisasi penggunaan batu bara tahun lalu pun tercatat tinggi, yakni 562,53 juta ton atau setara 102,28% dari target.

Bahkan, pada 2019 produksi batu bara yang terealisasi mencapai 616,16 juta ton, kemudian apabila melihat pada tahun sebelumnya, yakni 548,58 juta ton pada 2018, sebesar 461 juta ton pada 2017, dan 456 juta ton pada 2016.

Hal ini menunjukkan tren pertumbuhan produksi batu bara nasional yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Dalam penjualannya, produk batu bara lebih dominan ke luar negeri alias ekspor. Dibandingkan dengan pasar domestik, ekspor batu bara pada tahun lalu tercatat sebesar 405 juta ton, sedangkan penjualan ke domestik hanya sebesar 132 juta ton.

Catatan ini pun tak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Penjualan ekspor masih mendominasi, yakni 454,5 juta ton pada 2019 dan sebesar 356,5 juta ton pada 2018. Selisih angka ini juga tipis pada ekspor 2016 dan 2017 yang masing-masingnya sebesar 365 juta ton dan 354 juta ton.

Adapun negara yang paling banyak menjadi tujuan ekspor, yakni China, dengan pangsa pasar di atas 30%. Kemudian diikuti oleh India (24%), Korea Selatan (6%), dan Jepang (7%).

Alokasi Terbesar Penggunaan Batu Bara
Ilustrasi industri pertambangan. / Pixabay

Di sisi lain, industri Tanah Air masih memiliki kebutuhan yang besar terhadap penggunaan batu bara. Tercatat, alokasi terbesar masih difungsikan untuk industri listrik.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) paling banyak menyerap produksi batu bara, yakni mencapai 105 juta ton pada tahun lalu. Bahkan, tahun ini penggunaannya ditargetkan naik menjadi 113 juta ton.

Memiliki selisih besar dengan industri lainnya, metalurgi hanya menyerap 13 juta ton, semen 6 juta ton, kemudian kertas, pupuk dan tekstil masih jauh di bawah satu juta ton.

Hal ini memang sejalan dengan latar belakang mengapa kebutuhan batu bara dalam negeri terus bertambah.

Menteri ESDM Arifin Tasrif pada Maret lalu menjelaskan, peningkatan ini dipengaruhi oleh kebutuhan pengadaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), kewajiban pembangunan smelter, dan permintaan semen untuk kepentingan pembangunan tempat tinggal alias rumah.

Untuk kelistrikan saja, rasio elektrifikasi ditargetkan bisa tuntas alias mencapai 100% pada tahun depan. Salah satu upaya yang dilakukan, yakni melaksanakan program percepatan pembangunan 35 PLTU batu bara di seluruh Indonesia dengan kapasitas total 10.000 Mega Watt (MW).

Tak dapat dimungkiri, PLTU batu bara memang sumber utama dari kelistrikan dunia. Dalam hal ini, persentase sebesar 60% listrik dunia bergantung pada batu bara.

Penggunaan pembangkit ini dianggap bisa menyediakan listrik dengan harga yang relatif murah, dibandingkan dengan metode penyediaan listrik lainnya.

Hanya saja, kelemahan utama dari PLTU batu bara ialah pencemaran emisi karbon yang terbilang tinggi. Oleh karena itu, banyak lembaga keuangan global yang kini berkomitmen untuk menghentikan pendanaan terhadap proyek PLTU.

Penghentian Bertahap PLTU Batu Bara
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif saat hadir dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 2 Juni 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Saat ini, Kementerian ESDM juga tengah menyusun skema phasing out atau penghentian secara bertahap operasional PLTU batu bara.

Berdasarkan data yang dihimpun, masih ada 54 unit proyek atau sebesar 1.563 MW yang belum terkontrak. Proyek tersebut dikembangkan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.

Sementara untuk proyek yang sudah terkontrak tetapi belum masuk tahap konstruksi, jumlahnya sebanyak 43 unit atau 6.228 MW, dikembangkan oleh produsen listrik swasta Independent Power Producer (IPP).

Di Indonesia, pengembang listrik swasta memang diketahui memiliki porsi yang lebih besar ketimbang PLN. Hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan modal yang cukup besar untuk proyek PLTU. Dengan adanya swasta, komitmen dan tanggung jawab kelistrikan ini bisa dibagi dua.

PT Adaro Energy Tbk (ADRO), misalnya, memiliki PLTU Makmur Sejahtera Wisesa (MSW) di Tanjung, Kalimantan Selatan yang beroperasi 2×30 MW. Kemudian PLTU Tanjung Power Indonesia (TPI) juga dimiliki emiten ini sebesar 2×100 MW. Sementara itu, PLTU Batang masih dalam tahap konstruksi, sebesar 2×1.000 MW.

Adapun perusahaan kakap di sektor tambang dan batu bara lainnya yang ikut mengoperasikan PLTU, antara lain PT Barito Pasific Tbk (BRPT), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT United Tractors Tbk (UNTR), PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA), PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA), dan lain-lain.

Padahal, diketahui pemerintah tengah gencar mencanangkan EBT dalam rangka menuju net zero emission (NZE) atau netral karbon.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, pihaknya telah membuat strategi perencanaan secara bertahap.

Pada 2025, penghentian PLTU batu bara akan dimulai dengan membangun Pembangkit Listrik berbasis EBT (PL EBT) sebesar 1,1 Giga Watt (GW).

Selanjutnya retirement PLTU subcritical tahap I sebesar satu GW dilaksanakan pada 2030, dilanjutkan tahap II sebesar sembilan GW pada 2035. PLTU ini terdapat di Muarakarang, Tambaklorok, dan Gresik.

Lima tahun berikutnya atau 2040,PLTU supercritical 10 GW, PLTU ultrasupercritical tahap I sebesar 24 GW dan tahap II sebesar 5 GW juga akan dipensiunkan.

Besaran Tarif Jadi Tantangan
Foto: Ptba.co.id

Melihat hal ini, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, upaya pemerintah merupakan salah satu strategi yang bagus.

Meskipun dilakukan secara bertahap, hal ini sudah menunjukkan concern terhadap efek PLTU yang berhubungan dengan emisi gas buang.

“Memang sekarang ini, shifting sudah terjadi di beberapa negara karena ke depannya akan menggunakan EBT,” ujarnya saat dihubungi TrenAsia.com.

Selain itu, komitmen ini juga terkait dengan Paris Agreement. Dalam perjanjian tersebut, Indonesia diwajibkan untuk mencapai penurunan emisi CO2 sebesar 880 juta ton pada 2020.

Meskipun demikian, Mamit mengakui transisi energi dari fosil menuju EBT memang tidak mudah. Menurutnya, permasalahan EBT berhubungan dengan tingginya tarif yang harus dikeluarkan. Dampaknya, harga jual di pasaran pun akan mengikuti.

Oleh karena itu, sambil terus berinovasi, diharapkan tarif EBT ke depan jadi lebih murah dan terjangkau sehingga tidak memberatkan masyarakat.

“Jika biaya produksinya tinggi, maka nilai jual ke masyarakat pun akan tinggi,” ungkapnya.

Untuk saat ini, peran batu bara diakui Mamit sebagai energi primer yang paling murah. Itulah mengapa masih menjadi andalan bagi pemerintah untuk menyalurkan energi kepada masyarakat.

Dalam rangka menyeimbangkan, kebijakan untuk tarif PLTS Rooftop juga sedang disusun. Ini dianggap bisa menjadi jembatan dalam menentukan tarif yang sesuai bagi masyarakat.

Adapun terkait nasib perusahaan tambang dan batu bara ke depan, Mamit menyebut perkara ini tak akan menjadi masalah.

“Pasti kan mereka (perusahaan) sudah menikmati hasilnya. Dengan kontrak sepanjang 20-30 tahun, saya kira mereka sudah berhitung setelahnya,” ungkapnya.

Jika proyek PLTU tersebut rampung, kata dia, pembangkitnya bisa dihancurkan atau diganti dengan pembangkit yang lebih ramah lingkungan.

“Perusahaan-perusahaan tambang harus berinovasi,” ungkapnya.

Teknologi EBT
Panel Surya BUMN Bukit Asam dipasang di Bandara Soekarno-Hatta milik Angkasa Pura II / Twitter @AngkasaPura_2

Lantas, bagaimana rencana penggunaan gas pada masa transisi, dari energi fosil ke energi terbarukan?

Wakil Menteri ESDM periode 2016-2019 Arcandra Tahar mengungkapkan, penggunaan hidrogen (H2) dapat menjadi salah satu teknologi sumber EBT.

Menurutnya, selama ini hidrogen kerap digunakan pada industri petrochemical, refinery, solar panel dan industri kaca.

“Hidrogen juga digunakan sebagai alternatif sumber energi atau fuel cells untuk kendaraan listrik,” mengutip penjelasan di akun resmi Instragram @arcandra.tahar.

Pertama, diketahui sebagian besar atau 99% dari hidrogen yang diproduksi sekarang ini, berasal dari hydrocarbons.

“Terdapat 71 persen dari hasil pengolahan natural gas menjadi CO2 dan H2,” jelasnya.

Adapun hidrogen yang berasal dari gas alam tersebut bernama Grey Hydrogen, sedangkan sisanya diproduksi melalui olahan batu bara lewat teknologi gasifikasi. Proses ini disebut dengan Brown Hydrogen.

Arcandra menambahkan, ada pula sebagian kecil hidrogen yang diproduksi dari natural gas dan dikombinasikan dengan penginjeksian CO2. Hidrogen dengan proses ini dinamakan dengan Blue Hydrogen.

Maka, jika 99% dari hidrogen yang diproduksi saat ini berasal dari hidrokarbon dan ditambah dengan CO2 yang dihasilkan, Green Hydrogen menjadi pilihan teknologi yang ramah lingkungan.

Green hydrogen, terangnya, berasal dari pengolahan air lewat proses elektrolisis dengan menggunakan listrik EBT. Proses ini akan menghasilkan hidrogen yang murni dan zero carbon.

Meskipun demikian, teknologi ini masih memiliki sejumlah tantangan dari sisi biaya produksi yang sangat bergantung pada biaya listrik dan utilisasi dari plant yang dibangun.

Data dari Wood Mackenzie menunjukkan, Green Hydrogen bisa bersaing dengan Grey, Brown, dan Blue Hydrogen apabila biaya listriknya dibawah US$0.03/kWh. Selain itu, plant utilization rate juga mesti di atas 50%.

“Dua hal ini menjadi syarat yang berat untuk dipenuhi saat ini,” ungkap Arcandra. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk membuat teknologi elektrolisis menjadi lebih efisien.

Selain itu, bisa dilakukan dengan menambah penetrasi EBT agar biaya listrik lebih murah. Terakhir, menaikkan carbon pricing bagi industri yang masih menggunakan sumber energi yang menghasilkan karbon.

Tak heran, untuk mengendalikan efek negatif perubahan iklim di dunia, banyak negara yang mencanangkan net-zero gas emission pada 2050.

“Jadi, untuk mencapai tujuan tersebut, banyak hal harus dilakukan, misalnya membuat kebijakan yang ramah lingkungan. Selain itu, mendorong investasi yang berbasis kepada energi terbarukan dan mengembangkan teknologi yang mampu menggantikan sumber energi fosil,” tuturnya.  (LRD)