Ilustrasi cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT). Grafis: Deva Satria/TrenAsia
Nasional

Pemilik Warung Kompak Tolak Usulan Larangan Penjualan Rokok Batangan

  • Pedagang kecil dan sejumlah pemilik warung di beberapa daerah kompak menolak usulan larangan penjualan rokok batangan lantaran akan mengurangi omzet mereka

Nasional

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Pedagang kecil dan sejumlah pemilik warung di beberapa daerah kompak menolak usulan larangan penjualan rokok batangan lantaran akan mengurangi omzet mereka. Ekonomi yang masih dalam fase pemulihan bagi para pedagang kecil jadi alasan utama.

“Saya cukup heran, penjualan rokok batangan itu peluang menambah omzet. Bila dilarang artinya modal pedagang perlu ditambah namun keuntungannya berkurang,” ujar Reyenold, pemilik warung di Antapani, Bandung.

Penjualan secara batangan disebutnya memang lebih menguntungkan dibandingkan kemasan. Reyenold mengatakan, saat menjual per batang, ia bisa mendapat untung Rp 150 per batang. Ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan jual per kemasan.

Reyenold bilang jika diberlakukan, larangan eceran tersebut berdampak besar bagi para pedagang.

“Larangan ini pasti akan berdampak langsung ke pemasukan. Sebab, karakter pembeli tiap daerah berbeda-beda. Lagi pula, kalau tidak bisa jual eceran, itu sama saja pemerintah meminta penjual warung yang notabene UMKM. Jadi saya jelas tidak setuju wacana ini,” sambungnya.

Tak hanya lebih menguntungkan, penjualan secara eceran juga sejatinya kerap menjadi kontributor pendapatan utama warung-warung kecil maupun pedagang asongan. Salah satunya Sri Maryani, yang juga berdagang di Antapani, Bandung.

“Hampir 40% pemasukan warung saya hasil penjualan rokok batangan. Dengan adanya larangan ini, pasti akan menurunkan omzet. Soalnya, konsumen yang membeli ke warung mayoritas pembeli eceran,” ujarnya.

Sri juga cukup bingung soal pelaksanaan peraturan ini. Sebab, banyak sekali warung yang berada di wilayah-wilayah pemukiman.

Senada dengan Sri, Sunarti, pemilik toko kelontong di Sidoarjo pun menilai aspek pengawasan akan sangat sulit dilakukan. Tak hanya di wilayah pemukiman, warung-warung kecil banyak pula yang berada di wilayah industri seperti warung miliknya.

“Belum dirazia pun pembeli warung kecil sudah berkurang, apalagi nanti ada razia. Harusnya dipikirkan lagi. Bikin susah pedagang saja,” imbuhnya.

Sunarti yang memiliki warung di kawasan industri pun menambahkan, penjualan di warungnya sejatinya sudah merosot akibat pandemi. Sebab, banyak pekerja yang sudah dirumahkan akibat adanya pembatasan sosial. Makanya, ia menolak tegas usulan kebijakan ini.

Hal serupa juga dialami warung milik Atim yang juga berdekatan dengan kawasan industri. Ia mengatakan, pekerja-pekerja pabrik memang memiliki preferensi untuk membeli rokok secara eceran. Oleh karenanya, wacana kebijakan ini pasti akan memangkas omzetnya.

“Saya tidak setuju, karena sekitar sini banyak pekerja yang beli rokok ke saya tidak per bungkus tapi per batang. Gaji mereka juga tidak besar, jadi banyak yang beli batangan. Kalau itu juga dilarang, saya dapat tambahan uangnya dari mana? Apalagi barang-barang sekarang sudah makin mahal naik semua,” jelasnya.