Guru.
Nasional

Pendapatan di Bawah Kelayakan, Guru Jadi Profesi yang Sering Berutang

  • Selain bank, keluarga atau saudara menjadi sumber pinjaman kedua yang paling umum, dengan 19,3% responden mengaku berutang kepada mereka.
Nasional
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA - Survei yang dilakukan oleh Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) bersama Dompet Dhuafa mengungkapkan bahwa rendahnya pendapatan memaksa banyak guru di Indonesia untuk berutang ke berbagai pihak. 

Survei ini melibatkan 403 guru, dan ditemukan bahwa hingga Mei 2024, sebanyak 52,6% dari mereka memiliki utang ke bank atau bank perkreditan rakyat (BPR).

Selain bank, keluarga atau saudara menjadi sumber pinjaman kedua yang paling umum, dengan 19,3% responden mengaku berutang kepada mereka. 

Tempat ketiga diduduki oleh koperasi simpan pinjam atau baitul maal wa tamwil (BMT), lembaga keuangan mikro syariah, dengan persentase 13,7%. 

Selanjutnya, 8,7% responden meminjam uang dari teman atau tetangga, dan 5,2% menggunakan pinjaman online atau pinjol. Hanya 0,3% yang meminjam dari pihak lain.

IDEAS mencatat bahwa kondisi ekonomi yang sulit dirasakan oleh mayoritas guru yang disurvei. Meski banyak dari mereka sudah melakukan pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetap saja kondisi keuangan mereka belum memadai. Berdasarkan hasil survei, sebanyak 79,8% guru mengaku memiliki utang.

Lebih lanjut, IDEAS menemukan bahwa 56,5% guru yang mengalami kesulitan ekonomi terpaksa menggadaikan barang berharga miliknya. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan guru di Indonesia masih sangat jauh dari harapan.

Baca Juga: Cara Efektif Mengelola Utang agar Tidak Menumpuk

Survei ini dilakukan secara daring pada pekan pertama bulan Mei 2024, bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional. 

Responden terdiri dari 403 guru yang tersebar di 25 provinsi, dengan komposisi 291 orang dari Pulau Jawa dan 112 orang dari luar Jawa. Dari segi status, survei melibatkan 123 guru berstatus PNS, 118 guru tetap yayasan, 117 guru honorer atau kontrak, dan 45 guru PPPK.

Hasil survei ini menyoroti perlunya perhatian lebih terhadap kesejahteraan guru di Indonesia. Meskipun mereka sudah berusaha keras dengan mengambil pekerjaan tambahan, kenyataannya mereka masih menghadapi tekanan ekonomi yang berat. 

Kondisi ini memaksa mereka untuk mencari pinjaman dari berbagai sumber, yang pada akhirnya justru menambah beban finansial mereka. 

Seperlima Guru di Indonesia Masih Menerima Gaji di Bawah Rp500 Ribu Perbulan

Dalam survei yang sama, dikemukakan bahwa 74,3% responden yang berstatus guru honorer atau kontrak memiliki pendapatan di bawah Rp2 juta perbulan. Dari jumlah tersebut, 20,5% di antaranya bahkan hanya menerima gaji di bawah Rp500 ribu per bulan.

Lebih lanjut, survei itu mengungkapkan bahwa 26,4% guru honorer memperoleh upah antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta perbulan. Sementara itu, 10,2% responden dilaporkan menerima gaji sebesar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta perbulan. Selain itu, ada 17% guru honorer yang mendapat bayaran sebesar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta perbulan.

Selain kelompok dengan pendapatan di bawah Rp2 juta, survei IDEAS juga menemukan bahwa 12,8% responden menerima gaji Rp2 juta hingga Rp3 juta perbulan. 

Ada pula 7,6% guru honorer yang mendapatkan remunerasi sebesar Rp3 juta hingga Rp4 juta perbulan. Kemudian, 4,2% responden dilaporkan memperoleh pendapatan Rp4 juta hingga Rp5 juta perbulan, dan hanya 0,8% responden yang menerima upah lebih dari Rp5 juta perbulan.

IDEAS menilai bahwa upah tidak layak yang diterima oleh mayoritas responden, yakni 74,3%, setara atau bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten-Kota (UMK) terendah di Indonesia, yaitu di Kabupaten Banjarnegara yang sebesar Rp2,03 juta.