Pendirian SWF Dinilai Penuh Risiko, Amankah bagi Perbankan?
JAKARTA – PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyatakan siap mendukung inisiatif pemerintah atas pembentukan Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Corporate Secretary Bank Mandiri Rudy As Aturridha mengungkapkan, keberadaan SWF memiliki potensi besar untuk memperkuat likuiditas perbankan. “SWF akan memperkuat ketersediaan likuiditas berbiaya rendah di dalam negeri, sehingga bisa mengurangi tekanan pada […]
Industri
JAKARTA – PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyatakan siap mendukung inisiatif pemerintah atas pembentukan Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
Corporate Secretary Bank Mandiri Rudy As Aturridha mengungkapkan, keberadaan SWF memiliki potensi besar untuk memperkuat likuiditas perbankan.
“SWF akan memperkuat ketersediaan likuiditas berbiaya rendah di dalam negeri, sehingga bisa mengurangi tekanan pada suku bunga bank,” ungkapnya saat dihubungi TrenAsia.com, beberapa waktu lalu.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Selain itu itu, lanjutnya, likuiditas di pasar valas juga semakin kuat karena didukung oleh capital inflow yang lebih besar. Dengan demikian, kondisi pasar keuangan diprediksi akan lebih baik dan stabil.
“Bank Mandiri siap mendukung inisiatif ini melalui strategi pemasaran yang dilakukan bersama SWF,” tambah Rudy.
Ke depan, pihaknya akan memanfaatkan jaringan kantor luar negeri Bank Mandiri, seperti di Shanghai, Hongkong, Singapura, London, Malaysia, Timor Leste dan Cayman Island.
Penyaluran Kredit Infrastruktur di Bank Mandiri
Sementara itu, sampai dengan akhir Oktober 2020, Rudy menyebut Bank Mandiri telah menyalurkan kredit di bidang insfrastruktur sebesar Rp199.5 triliun. Jumlah tersebut tumbuh lebih dari 2% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Menurut Rudy, kinerja positif ini sejalan dengan target proyek infrastruktur pemerintah, kendati dijalankan di tengah situasi pandemi.
“Penyaluran kredit di bidang infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan positif. Ini seiring dengan program pemerintah yang fokus pada sektor tersebut,” ujarnya.
Di samping itu, Rudy juga menegaskan bahwa kualitas kredit Bank Mandiri di sektor infrastruktur termasuk dalam kategori lancar. Rasio kredit bermasalah atau Non-performing loan (NPL) masih terjaga di bawah 2% per akhir Oktober 2020.
Adapun subsektor infrastruktur yang mendapatkan pembiayaan dari Bank Mandiri, antara lain transportasi dan jalan, tenaga listrik, telematika, serta konstruksi dan perumahan rakyat.
Lahir atas Kebutuhan Pendanaan Infrastruktur
Sebelumnya, anggota perumus SWF sekaligus Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Robertus Bilatea mengatakan, selama ini pemerintah masih mengalami kesulitan dalam mendanai infrastruktur dalam negeri. Menurutnya, Indonesia tidak memiliki banyak pilihan instrumen pendanaan di sektor ini.
“Kalau kita perhatikan dari sisi perbankan, kita tidak punya bank pembangunan. Kita hanya mempunyai komersial bank yang mengumpulkan dana masyatakat, kemudian menempatkannya di investasi jangka pendek,” ungkapnya dikutip dari TrenAsia.com.
Di samping itu, pendanaan di pasar modal pun juga dianggap belum mencukupi kebutuhan dana pembangunan. Kemudian, jika dana diambil dari keuangan negara, yakni Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus-menerus, Robert meyakini ke depan bakal semakin tergerus. Pasalnya, APBN sendiri memiliki prioritas pendanaan lain, sedangkan modal yang dimiliki oleh BUMN juga terbatas.
Seperti diketahui, lembaga yang tengah digodok oleh pemerintah ini merupakan salah satu visi yang tertuang dalam UU Cipta Kerja. Pembentukan SWF didasarkan oleh kebutuhan negara atas pendanaan infrastruktur.
Secara khusus, pembentukan lembaga ini diatur dalam bab investasi pemerintah pusat dan kemudahan proyek strategis nasional. Nantinya, pengawas SWF adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Keuangan, dan kalangan profesional.
Tanggung jawab SWF diserahkan langsung kepada presiden, begitu pula dengan dewan pengawas yang ditunjuk dan diberhentikan oleh presiden. Sementara itu, dewan pengawas sendiri akan bertugas mengangkat dan memberhentikan dewan direktur.
Adapun modal awal SWF disebutkan mencapai Rp75 triliun, bisa berupa dana tunai dan barang milik negara. Di sisi lain, piutang negara, saham pada BUMN, maupun badan usaha perseroan terbatas juga memiliki potensi dijadikan sebagai modal.
Penuh Risiko
Terkait hal ini, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menilai, SWF akan mendatangkan risiko yang besar, Sebab, pertanggungjawabannya dihadapkan pada kelolaan aset negara.
“Kementerian Keuangan saja sudah pusing dengan aset-aset negara selama ini. Kemarin saat dihitung ulang pun, masih ada masalah. Jadi, ini tidak mudah ketika aset harus digonta-ganti atau reevaluasi lagi,” ujarnya kepada TrenAsia.com.
Selain itu, risiko lain juga berhubungan dengan aspek government. Menurutnya, hal ini menjadi penentu atas kepercayaan masyarakat. Pasalnya, kata Eko, aset negara ini memiliki potensi untuk dikonversi menjadi aset di SWF.
“Apakah pemerintah siap menyatakan bahwa aset negara clean and clear? Kemudian jika aset itu masuk ke SWF, apa sudah yakin ke depan tidak bakal disalahgunakan?” tutur Eko mengkritisi.
Menurutnya, check and balance menjadi aspek utama yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam membuat kebijakan. Terlebih untuk SWF, Eko menilai sebuah track record penting untuk membangun kepercayaan investor.
Sementara itu, Indonesia belum memiliki riwayat terkait lembaga independen ini. Ia pun menyebut, keputusan beberapa negara yang meneken kontrak untuk LPI belakangan ini, dinilai sebagai percobaan awal untuk melihat seberapa efektif kinerja ke depan.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menghimpun dana senilai US$6 miliar Rp85,03 triliun untuk SWF. Dana itu didapat dari hasil kunjungan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir ke luar negeri pada akhir November hingga awal Desember lalu.
Rinciannya, US$4 miliar atau Rp56,68 triliun didapat dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Sisanya, US$2 miliar atau Rp28,34 triliun dari Development Finance Corporation (DFC), AS.
Lebih lanjut, Eko melihat pendirian SWF akan menjadi tantangan tersendiri bagi industri perbankan. Menurutnya, semakin banyak investasi yang ditawarkan, maka pilihan investor untuk menanamkan modal di bank juga berpotensi berkurang.
“Apalagi bagi bank yang bermain di sektor infrastruktur, harus lebih kompetitif dalam memberikan bunga. Supaya tidak kalah dengan SWF,” kata Eko.
Selama ini, Eko menilai penghimpunan dana di bank masih bersifat jangka pendek alias di bawah satu tahun. Sebagai contoh deposito, return on equity (ROE) yang didapatkan bisa mencapai bertahun-tahun.
Oleh karena itu, fokus segmen bank mesti dipecah-pecah. Dengan kata lain, sebagian bisa bermain di usaha mikro kecil dan menegah (UMKM), korporasi, dan infrastruktur. Hal ini menghindari risiko yang datang apabila salah satu segmen mengalami masalah.
Kemudian, tantangan lain yang dihadapi perbankan juga terkait pendanaan dan saham. Pemain SWF yang mayoritas adalah investor global, akan memengaruhi pada harga saham perseroan atau perbankan.
“Misalnya BRI, sekitar 80% sahamnya dilepas ke publik. Kalau imbal balik investasi di SWF lebih menggiurkan, maka investor bisa saja lebih tertarik untuk menanamkan sahamnya di sana,” ujar Eko.