Ilustrasi fintech pinjaman online (pinjol) atau kredit online alias peer to peer (P2P) lending ilegal harus diwaspadai. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

Peneliti: Literasi Keuangan Masyarakat Jadi Kunci Pemberantasan Pinjol Ilegal

  • Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu menegaskan, peran literasi keuangan digital masyarakat berperan penting dalam mengidentifikasi perusahaan finansial teknologi (fintech) yang legal maupun ilegal
Fintech
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu menegaskan, peran literasi keuangan digital masyarakat berperan penting dalam mengidentifikasi perusahaan finansial teknologi (fintech) yang legal maupun ilegal.

Selain literasi, keamanan juga harus disertai dengan adanya sistem elektronik yang tangguh untuk mencegah adanya penggunaan data dalam menawarkan pinjaman ilegal melalui telepon genggam.

"Upaya literasi agar masyarakat dapat mengidentifikasi fintech yang terdaftar dengan yang ilegal perlu ditingkatkan," kata Thomas dalam keterangan resmi, Rabu 17 November 2021.

Ia berpendapat, literasi menjadi penting sebagai edukasi kepada masyarakat mengingat proses moratorium atau penghentian pendaftaran untuk fintech tidak akan menyelesaikan permasalahan tekfin ilegal.

"Mau ada moratorium atau tidak, fintech ilegal tetap akan beroperasi bila tidak ada penindakan tegas. Apalagi, banyak fintech ilegal beroperasi dengan cara meniru dan menggunakan logo dan nama dari fintech yang terdaftar untuk menarik perhatian calon konsumen," jelas dia.

Selain itu, Thomas menambahkan permasalahan lain yang seharusnya diselesaikan adalah akses tekfin ilegal kepada data pribadi individu, seperti nomor telepon, yang digunakan untuk menawarkan pinjaman lewat pesan singkat maupun telpon langsung.

Padahal, kerahasiaan data pribadi yang mengacu pada pengumpulan data, preferensi dan cara lembaga mengelola data, merupakan perlindungan terhadap privasi konsumen dan merupakan hak subjek data individu.

"Penawaran pinjaman kilat melalui pesan singkat sangat masif sekali. Nomor telepon masyarakat tersebar luas dan disalahgunakan untuk menjerat masyarakat ke dalam pinjaman dengan bunga yang tidak wajar," ujar Thomas.

Menurut dia, proses penawaran pinjaman kilat tersebut membuktikan adanya praktek jual beli data konsumen dan kurangnya perlindungan atas kerahasiaan data masyarakat.

Saat ini, banyak kasus yang menunjukkan bahwa kehadiran fintech, utamanya yang berbasis pinjaman, juga diikuti dengan risiko penyalahgunaan data pribadi pengguna layanan.

Untuk mengatasi hal yang merugikan masyarakat ini, sudah seharusnya ada sinergi yang baik antara regulator, pelaku industri tekfin dan tentunya kesadaran pengguna layanan.

Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang mengharuskan setiap fintech di Indonesia mencatatkan diri ke OJK secara legal.

Tekfin berperan penting dalam percepatan inklusi keuangan dan perannya menjadi semakin penting karena adanya kebijakan pembatasan sosial dan adanya desakan kebutuhan dana dari kelompok masyarakat yang terkena dampak pandemi.

Terbukti bahwa sampai dengan Oktober 2021, industri tekfin telah menyalurkan dana pinjaman ke sektor produktif sampai sebesar Rp114 triliun.

"Perlindungan konsumen fintech diperlukan untuk memberikan rasa aman dan menjaga kepercayaan mereka dalam bertransaksi dengan lembaga ini. Rasa aman dan kepercayaan akan menumbuhkan industri keuangan dan menggerakkan sektor-sektor yang terdampak pandemi lewat skema pinjaman yang diajukan," kata Thomas.