<p>Pemerintah resmi menurunkan harga gas industri. / Dok. Kementerian ESDM</p>
Industri

Penerimaan Negara Terjun Bebas, DEN Minta Kemenkeu Evaluasi Dampak Kebijakan Harga Gas US$6 per MMBTU

  • Kebijakan harga gas sebesar US$6 per Metric British Thermal Unit (MMBTU) yang diperuntukkan bagi tujuh golongan industri tertentu, membuat penerimaan negara turun cukup besar.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Kebijakan harga gas sebesar US$6 per Metric British Thermal Unit (MMBTU) yang diperuntukkan bagi tujuh golongan industri tertentu, membuat penerimaan negara turun cukup besar.

Sepanjang 2020, potensi pendapatan negara dari hulu migas yang hilang akibat penetapan harga ini mencapai US$937 juta atau lebih dari Rp13,58 triliun (asumsi kurs Rp14.500 per dolar Amerika Serikat).

Hal itu disampaikan oleh Deputi Keuangan & Monetisasi SKK Migas Arief Setiawan Handoko dalam diskusi daring “Efektifitas Kebijakan Harga Gas dalam Meningkatkan Daya Saing Industri Indonesia”, Kamis, 24 Juni 2021.

Arief mengungkapkan pendapatan negara dari hulu migas sepanjang tahun lalu hanya mencapai US$460 juta. Jumlah itu jauh di bawah proyeksi awal ketika kebijakan harga gas US$6 per MMBTU diberlakukan pada Juni 2020 sebesar US$1,39 miliar.

“Dari sektor industri, kontribusinya hanya US$166 juta dari proyeksi awal US$227 juta. Sementara itu, pupuk hanya berkontribusi US$54 juta dari target US$ 104 juta. Target penerimaan negara dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sebesar US$1,06 miliar hanya terealisasi US$240 juta,” ungkap Arief.

Padahal, sebelum kebijakan penyesuaian harga gas US$6 per MMBTU diimplementasikan, realisasi penerimaan pajak dari tujuh sektor industri tertentu bisa mencapai Rp44,89 triliun pada 2019.

Kemudian pada 2020, nilainya turun menjadi Rp40,09 triliun. Hanya industri oleochemical dan sarung tangan yang mencatat pertumbuhan positif, sedangkan sektor pengguna gas bumi lainnya penerimaan pajaknya turun.

Penurunan pendapatan pajak ini pun berlanjut ke kuartal I-2021. Pada tiga bulan pertama tahun ini, realisasi pajaknya hanya Rp10,23 triliun.

Evaluasi Dampak Harga Gas US$6 per MMBTU

Terkait penurunan pendapatan negara tersebut, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melakukan evaluasi terhadap dampak kebijakan harga gas US$6 per MMBTU.

Langkah ini dibutuhkan untuk memastikan bahwa keuangan negara tetap sehat, termasuk memastikan penerimaan bagian KKKS untuk menjaga nilai keekonomian lapangan migas.

“Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, perlu melakukan evaluasi terhadap dampak penerimaan pajak yang diakibatkan dari harga gas sebesar enam dolar per MMBTU,” ujarnya dalam forum diskusi yang sama.

Satya juga meminta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk melakukan evaluasi mengenai kontribusi 7 sektor industri penerima harga gas murah terhadap penerimaan negara.

Menurutnya, perlu ada simulasi untuk mengetahui risiko dan dampak kebijakan harga gas US$6 per MBBTU ke depan. Dengan demikian, menteri keuangan selaku bendahara negara bisa melihat bahwa harga gas murah itu benar-benar berdampak terhadap penerimaan PNPB di sektor lain dan pajak yang diakibatkan dari pertumbuhan industri.

“Kami di DEN siap untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi terkait dampak kebijakan ini,” imbuhnya.

Seperti diketahui, kebijakan harga gas US$6 per MMBTU tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 89K Tahun 2020 dan Nomor 91K Tahun 2020.

Terdapat tujuh sektor industri yang menikmati subsidi energi dari pemerintah ini, yaitu industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Dalam aturan tersebut, dikatakan Menteri ESDM dapat melakukan evaluasi kebijakan harga tersebut setiap tahun, atau sewaktu-waktu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dalam negeri. (LRD)