<p>Seorang karyawan tengah menata rokok dari berbagai jenis dan merk di sebuah etalase waralaba kawasan Cengkareng Jakarta Barat, Rabu 17 Maret 2021. Foto: Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Nasional

Pengawasan Harga Rokok Tidak Optimal, Tindak Tegas Perusahaan Curang

  • Pengawasan harga rokok di pasaran dinilai perlu menjadi perhatian utama pemerintah.

Nasional
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Pengawasan harga rokok di pasaran dinilai perlu menjadi perhatian utama pemerintah.

Hal ini berhubungan dengan target penurunan prevalensi perokok anak yang  tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Diharapkan, prevalensi merokok anak bisa turun dari 9,1% menjadi 8,7%.

Sebab, tanpa kebijakan pengawasan harga rokok di pasar, tingkat keterjangkauan konsumen juga semakin mudah.

Wawan Juswanto selaku Analis Kebijakan Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenku) pun mengaku, khusus untuk kebijakan Harga Transaksi Pasar (HTP) memang telah diubah sejak 2017.

“Kebijakan ini mengatur batasan penjualan rokok sebesar 85 persen dari Harga Jual Eceran (HJE),” katanya dalam webinar Rasionalisasi Kebijakan dan Optimalisasi Pengawasan Harga Pasar Rokok, Senin, 29 Maret 2021.

Ia bilang, tujuan dari pembatasan ini tak lain untuk mengendalikan konsumsi masyarakat. Selain itu, berfungsi sebagai antisipasi terjadinya predatory pricing oleh perusahaan besar terhadap pabrik golongan menengah dan bawah.

Di sisi lain, Peneliti dari Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Adi Musharianto menyebut, ada kontradiksi pada kebijakan tersebut.

Secara lebih rinci, perbedaan ini ada dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai (Perdirjen BC) Nomor 37 tahun 2017 yang kini direvisi menjadi Perdirjen BC Nomor 25 tahun 2018.

Dalam lampirannya, metode pengawasan memberikan ruang bagi perusahaan rokok untuk menjual rokok lebih rendah dari aturan PMK 198/2020, yakni bisa kurang dari 85%. Adapun syaratnya, produk mesti didistribusikan di sekitar 50% atau 40 area kantor bea cukai di seluruh Indonesia.

“Dari awal, sudah ada kontradiksi terkait HTP di bawah 85 persen. Maka dari itu, perlu ada peninjauan atau evaluasi,” ujar Adi.

Senada dengan Adi, Analis Kebijakan Madya Kedeputian Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Rama Prima Syahti Fauzi, turut mendukung adanya evaluasi kebijakan tersebut.

Ketidaksesuaian antara HTP dengan HJE, kata dia, bisa menyebabkan harga rokok tetap terjangkau. Di samping itu, perlu adanya sanksi yang tegas terhadap perusahaan yang melanggar aturan.

“Harus diperketat untuk menghindari predatory pricing,” kata Rama.

Ia pun merekomendasikan, pengecualian wilayah untuk penjualan rokok di bawah 85% dari HJE sebaiknya diperkecil supaya pengendalian konsumsi rokok bisa berjalan optimal. (SKO)