Pengelolaan Sumur Minyak Tua Butuh Payung Aturan yang Kuat
- Naiknya harga minyak dunia hingga level US$80 - US$90 per barel telah mendorong aktivitas pengeboran di sumur-sumur minyak tua semakin marak.
Industri
JAKARTA — Naiknya harga minyak dunia hingga level US$80 - US$90 per barel telah mendorong aktivitas pengeboran di sumur-sumur minyak tua semakin marak. Masyarakat di sejumlah wilayah eks pengeboran mencoba peruntungan dengan melakukan penambangan di sumur-sumur migas yang sudah tidak ekonomis bagi korporasi tersebut.
Sayangnya, praktik pengeboran di sumur-sumur minyak tua itu tidak diikuti kepatuhan dan tanggungjawab. Terutama terkait standar keamanan kerja dan perlindungan terhadap lingkungan.
Jika situasi ini terus berjalan, dikhawatirkan akan menciptakan masalah sosial dan lingkungan di wilayah eks pengeboran minyak yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyampaikan, rata-rata sumur-sumur minyak tua yang ada saat ini sudah ditinggalkan oleh korporasi karena sudah tidak ekonomis. Selain cadangan yang menipis dan volume produksi yang terbatas, biaya pengelolaan sumur tua ditinggalkan itu sangat mahal.
- Kantongi Restu OJK, Bank Neo Commerce (BBYB) Siap Rights Issue Rp2,5 Triliun
- 65 Pelaku Usaha Setor PPN e-Commerce Rp3,92 Triliun hingga Oktober 2021
- Bukan Sea Grup, Bank Bumi Arta Malah Dicaplok Ajaib 24 Persen
“Sebenarnya, sumur-sumur tua masih memiliki produksi. Untuk menghindari adanya kegiatan-kegiatan masyarakat di sumur-sumur tua itu, pemerintah harus membuat aturan yang kuat, agar potensi produksi migas di sumur tersebut bisa kembali ke negara,” terang Fahmy.
Menurut Fahmy, untuk menekan angka maraknya kegiatan masyarakat di sekitaran sumur-sumur minyak tua itu, pemerintah harus membuat aturan yang kuat khususnya berkenaan dengan penyerahan sumur-sumur minyak tua setelah ditinggalkan oleh korporasi. Atau, kata Fahmy, korporasi bisa menggandeng warga sekitar yang melakukan kegiatan untuk kembali mengembangkan sumur tersebut.
Dengan cara seperti itu, korporasi bisa mengawasi kegiatan pengeboran sumur minyak tua itu melalui kaidah pengeboran yang benar dengan teknologi yang terjamin sesuai dengan good minning practice.
“Aturan yang tegas sangat diperlukan. Tapi pembuatan aturan juga harus didasari atas pendekatan kultur, sosiologi masyarakat sekitar. Karena ini menyangkut banyak pihak, keterlibatan Polri, TNI dan pemerintah menjadi sangat penting,” ungkap dia.
- Gerhana Bulan Sebagian Akan Terjadi dalam Waktu Dekat, Catat Tanggalnya!
- Loker BUMN Nindya Karya , Cek Link Pendaftaran dan Persyaratannya Disini
- Perdagangan Karbon Indonesia Tembus Rp8.000 Triliun, Ini yang Harus Dilakukan
Mengacu data Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamaan (Kemenko Polhukam), kegiatan illegal drilling terus mengalami peningkatan per tahunnya, di tahun 2018 terdapat 137 kegiatan sumur ilegal dan terus meningkat pada 2019 menjadi 194.
Praktik ilegal itu terus mengalami pertumbuhan sampai dengan 2020 dengan total kasus sebanyak 314 kegiatan. Adapun terdapat 8 provinsi yang selama ini menjadi titik-titik utama kegiatan ilegal yaitu Aceh, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Jambi, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Pengamat Energi sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menambahkan, bahwa untuk menekan kegiatan ilegal di sumur minyak tua diperlukan payung hukum tertinggi yang bisa mengkoordinasikan antarlembaga dari pusat sampai ke daerah.
Sejatinya, pemerintah sudah memiliki Peraturan Menteri (Permen) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Sumur Tua. Aturan itu bersinggungan dengan pengelolaan sumur migas oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun Koperasi Unit Desa (KUD). Menurut Komaidi, aturan itu sudah cukup kuat, hanya saja implementasi di lapangan tidak berjalan.
“Karena peraturan yang sifatnya teknis selama ini terbukti tidak berhasil. Di lapangan terjadi praktik penambangan yang tidak mengedepankan good minning practice. Makanya sering kita dengar dan lihat ada pipa kebakaran, sumur menyembur, risiko-risiko itu yang perlu diminimalkan,” ungkap dia.
Komaidi menyarankan, dalam hal penyelesaian masalah illegal drilling dan illegal tapping itu juga tidak bisa hanya dituntaskan melalui aspek penegakan hukum saja, melainkan juga harus ada aspek ekonomi dan pendekatan kultur di setiap daerah.
“Jika tidak begitu, ditindak seperti apapun maka mereka akan kembali lagi. Lagi-lagi ini adalah persoalan ekonomi masyarakat,” ungkap dia.
Komaidi bahkan sempat mengusulkan, melalui Permen ESDM 1/2008 itu, individu-individu yang melakukan illegal drilling dan illegal tapping diwadahi dalam satu payung yaitu BUMD dan Koperasi, tujuannya untuk bisa memudahkan koordinasi atau monitoring.
Sementara itu Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji sebelumnya pernah mengatakan bahwa pihaknya akan merevisi Permen ESDM 1/2008. Hal itu untuk melegalkan BUMD dan Koperasi Unit Desa (KUD) agar bisa mengelola sumur minyak rakyat.
Adapun sumur yang boleh dikelola adalah sumur tua yang berdasarkan Permen tersebut telah dibor sebelum 1970 dan pernah diproduksi.