Pengembangan Nuklir Dinilai Solusi Semu dalam Transisi Energi
- Rencana pengembangan energi nuklir di Indonesia diminta ditinjau ulang. Selain berbiaya mahal dan berisiko besar pada lingkungan, energi nuklir dinilai akan semakin membebani biaya subsidi listrik di masa mendatang.
Energi
JOGJA—Rencana pengembangan energi nuklir di Indonesia diminta ditinjau ulang. Selain berbiaya mahal dan berisiko besar pada lingkungan, energi nuklir dinilai akan semakin membebani biaya subsidi listrik di masa mendatang.
Pemerintahan Prabowo Subianto didorong mengoptimalkan opsi yang lebih ramah lingkungan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) atau mikro-hidro, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berupa solar panel hingga Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, saat ditemui TrenAsia.com di kampus Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogja, Senin, 18 November 2024. Menurut Bhima, pengembangan reaktor nuklir adalah solusi semu dalam agenda transisi energi.
Sebagai informasi, pemerintah berencana menambah kapasitas listrik sebesar 100 gigawatt dalam 15 tahun ke depan. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) digadang-gadang menjadi salah satu penopang transisi energi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. “Kita sudah melenceng terlalu jauh. Terlalu banyak gimmick yang tidak akan menyelesaikan fundamental masalah,” ujar Bhima.
Alih-alih memacu transisi energi bersih, Bhima menilai keberadaan PLTN justru akan menambah masalah baru. Selain berbiaya mahal, pihaknya khawatir anggaran subsidi listrik akan semakin terbebani dengan kehadiran energi nuklir. “Padahal, pemerintah sekarang sedang berupaya menurunkan subsidi listrik,” kata Bhima.
Data yang dihimpun TrenAsia.com, dana subsidi listrik di Tanah Air terus meningkat beberapa tahun terakhir. Ada peningkatan subsidi listrik sebesar Rp42 triliun dalam kurun 2020-2025. Tahun depan, pemerintah memasang anggaran subsidi sebesar Rp90,22 triliun, naik dari target 2024 sebesar Rp73,24 trilium.
Ring of Fire
Di samping memicu pembengkakan anggaran, Celios menyoroti pengembangan energi nuklir sangat berisiko terhadap lingkungan. Bhima meminta pemerintah belajar dari kasus terdekat yakni kebocoran PLTN di Fukushima, Jepang. Apalagi, RI masuk kawasan ring of fire yang rentan bencana.
“Nuklir dari sisi kebencanaan bukan pilihan yang baik sebagai sumber energi. Sekarang begini saja, apakah para pejabat itu mau rumahnya radius beberapa kilometer dari PLTN? Pasti enggak mau. Beda kalau rumahnya dekat solar panel, tentu enggak ada masalah. Makanya saya bilang kebijakan pengembangan nuklir ini kontradiktif,” tutur Bhima.
Pihaknya mendorong pemerintah mengoptimalkan PLTA, PLTS dan PLTB untuk menggantikan energi fosil di masa mendatang. Menurut Bhima, Indonesia memiliki sumber daya melimpah untuk mengoptimalkan ketiga pembangkit listrik tersebut.
“Kita punya ratusan anak sungai yang layak jadi pembangkit mikro-hidro, angin dan solar panel juga bisa dioptimalkan. Meskipun sifatnya intermitten, solar panel bisa disiasati dengan penyimpanan baterai. Makanya di RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik), energi saving storage harus dimasukkan,” ujar Bhima.
Lebih lanjut, penutupan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) juga perlu dieksekusi apabila pemerintah benar-benar hendak melakukan transisi energi. Bhima belum melihat ada upaya serius pemerintah untuk menutup sejumlah PLTU. “Tidak ada progress. Misal Indonesia bisa memensiunkan satu saja PLTU, pasti akan lebih banyak yang membantu Indonesia dalam transisi energi.”
Baca Juga: Membedah Potensi dan Tantangan Energi Nuklir di Indonesia
Sebagai informasi, energi nuklir dikenal memiliki efisiensi yang tinggi. Dalam reaktor nuklir, reaksi fisi inti atom menghasilkan energi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar fosil seperti batu bara atau minyak bumi. Sejumlah kecil bahan bakar nuklir dapat menghasilkan daya yang besar, sehingga memungkinkan tercapainya efisiensi energi yang tinggi.
Energi nuklir menggunakan uranium sebagai bahan bakar utama, dan pasokan uranium yang ada saat ini memungkinkan pemanfaatan energi nuklir untuk jangka waktu yang panjang. Selain itu, teknologi reaktor generasi baru juga dapat memanfaatkan bahan bakar nuklir yang lebih melimpah, seperti thorium.
Meski demikian, biaya energi nuklir terhitung tinggi. Biaya untuk menghasilkan tenaga surya berkisar antara 36 hingga 44 dolar AS per megawatt-hour (MWh), menurut laporan dari World Nuclear Industry, sementara biaya untuk menghasilkan tenaga angin berkisar antara 29 hingga 56 dolar AS per MWh.
Di sisi lain, biaya untuk menghasilkan tenaga nuklir berkisar antara 112 hingga 189 dolar AS per MWh. Selama satu dekade terakhir, laporan tersebut memperkirakan biaya tenaga surya telah turun hingga 88%, sementara biaya tenaga angin menurun hingga 69%. Namun, biaya untuk tenaga nuklir justru meningkat sebesar 23%.
Pabrik dan reaktor nuklir menjadi target empuk untuk tindakan kriminal seperti ancaman teroris, kecelakaan pesawat baik yang disengaja maupun tidak, serangan siber, dan peperangan, dikutip dari laman Greenpeace. Struktur bangunan pabrik dan reaktor nuklir, yang mengandung material radioaktif, tidak dirancang untuk mengatasi ancaman tersebut.
PLTN juga memiliki tingkat risiko yang berbeda jika terjadi kerusakan, dibandingkan dengan pembangkit listrik lainnya. Hal ini terbukti pada bencana yang terjadi di Fukushima Daiichi dan juga dalam konflik militer yang melibatkan fasilitas nuklir.