<p>Emiten farmasi dan alat kesehatan PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA) saat IPO di Bursa Efek Indonesia / Dok. Perseroan</p>
Korporasi

Pengendali Itama Ranoraya Caplok Eks Perusahaan Konstruksi Milik Sandiaga Uno (DGIK)

  • Pemegang saham pengendali PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA) membeli 51,85% saham PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk (DGIK)
Korporasi
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Pemegang saham pengendali PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA), PT Global Dinamika Kencana, telah mengakuisisi mayoritas saham PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk (DGIK), emiten konstruksi yang pernah dimiliki oleh Sandiaga Uno.

Berdasarkan pengumuman yang dirilis Global Dinamika Kencana, pihaknya telah membeli 2.873.092.300 lembar atau setara 51,85% saham DGIK pada harga Rp80 per lembar. Dengan begitu, Global Dinamika Kencana merogoh kocek Rp229,85 miliar dalam transaksi tersebut.

Global Dinamika Kencana melakukan akuisisi saham tersebut dari PT Lintas Kebayoran Kota, PT Lokasindo Aditama, PT Rezeki Segitiga Emas, dan PT Multidaya Hutama Indokarunia dengan masing-masing porsi kepemilikan 34,12%, 7,6%, 9,32%, dan 0,81%.

Adapun transaksi ini dilaksanakan pada Rabu, 6 Oktober 2021. Sedangkan, harga pelaksanaan dalam transaksi tersebut berada di atas harga pasar. Pada akhir perdagangan hari itu, harga saham DGIK berada pada level Rp77 per lembar.

Global Dinamika Kencana sendiri merupakan entitas pengendali emiten farmasi Itama Ranoraya. Selain itu, perusahaan tersebut juga mengendalikan PT Oneject Indonesia (Oneject) yang baru-baru ini diakuisisi IRRA.

Sementara itu, Nusa Konstruksi Enjiniring merupakan perusahaan yang pernah dimiliki oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno. Ia juga pernah menjabat sebagai komisaris utama perseroan.

Tak hanya itu, DGIK yang sebelumnya bernama PT Duta Graha Indah tersebut juga sempat tersandung kasus korupsi Proyek Rumah Sakit Khusus Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009 dan 2010. 

Perseroan kedapatan telah melakukan rekayasa dengan menyusun Harga Perkiraan Sendiri dan rekayasa mengkondisikan perseroan sebagai pemenang tender. Pemahalan satuan harga ini menjadikan pemerintah bayar lebih tinggi. 

Pada 3 Januari 2019, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat menetapkan pidana denda sejumlah Rp700 juta, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp85,49 miliar dan pidana tambahan berupa pencabutan hak perseroan untuk mengikuti lelang proyek pemerintah selama 6 bulan.