Pengetatan Likuiditas dan Dampak Terpilihnya Trump ke Perbankan RI
- Trump diperkirakan akan menerapkan kebijakan proteksionis, termasuk tarif impor yang tinggi dan penurunan pajak, yang dapat memicu kenaikan inflasi di AS dan membuat Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), kesulitan untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut.
Perbankan
JAKARTA - Menjelang tahun 2025, industri perbankan Indonesia masih dihadapkan pada tantangan ketatnya likuiditas. Para pemimpin bank BUMN menyatakan bahwa tantangan ini akan terus membayangi, didorong oleh berbagai faktor eksternal dan kebijakan suku bunga yang dipengaruhi oleh perkembangan global.
Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI/BBNI), Royke Tumilaar, menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap ketatnya likuiditas berasal dari luar negeri.
Menurutnya, kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) bisa memperlambat penurunan suku bunga AS.
- KFC dan Starbucks Indonesia Boncos di Kuartal III-2024, Melulu karena Boikot?
- Kunci Sukses Swasembada Energi: Penguatan Sektor Hulu Migas
- Bank Mandiri Ungkap Tantangan Bisnis, dari Likuiditas hingga Daya Beli
Trump diperkirakan akan menerapkan kebijakan proteksionis, termasuk tarif impor yang tinggi dan penurunan pajak, yang dapat memicu kenaikan inflasi di AS dan membuat Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), kesulitan untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut.
"Kami awalnya mengharapkan penurunan suku bunga yang cukup agresif, tetapi tren penurunan suku bunga dolar AS tampaknya akan sulit untuk mencapai tingkat yang signifikan. Ketatnya likuiditas akan menjadi tantangan yang cukup besar bagi industri perbankan, terutama dalam mendorong ekspansi di tahun 2025," ujar Royke dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR, Rabu, 13 November 2024.
Lebih lanjut, Royke menyoroti bahwa tingginya suku bunga Bank Indonesia (BI) turut memengaruhi pergerakan dana pihak ketiga (DPK) di bank.
Dengan suku bunga yang tinggi, masyarakat cenderung mengalihkan dana mereka ke instrumen investasi pemerintah yang menawarkan imbal hasil lebih menarik daripada produk perbankan konvensional.
Peluang dan Harapan terhadap Kebijakan Pemerintah
Meski kondisi likuiditas di pasar masih ketat, Royke optimistis bahwa kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah dapat membantu menopang daya beli masyarakat dan menggerakkan sektor-sektor strategis seperti pertanian serta investasi. Ia berharap adanya sinkronisasi antara kebijakan moneter dan fiskal untuk menciptakan dampak positif terhadap perekonomian nasional.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), Darmawan Junaidi, juga menyoroti ketatnya likuiditas yang dihadapi perbankan.
Ia menyebut bahwa walaupun ada tren penurunan suku bunga, namun biaya dana (cost of fund) masih tetap tinggi, salah satunya karena keberadaan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi.
Situasi ini membuat pasar memiliki lebih banyak pilihan, sehingga dana masyarakat tidak hanya tertuju pada produk perbankan konvensional.
"Saat ini, penurunan suku bunga tidak serta-merta diikuti oleh reaksi positif dari pasar. Masyarakat lebih memilih channel investasi dengan imbal hasil lebih tinggi, sehingga biaya dana perbankan justru mengalami peningkatan secara agregat," ujar Darmawan.
Dampak Kebijakan Donald Trump terhadap Ekonomi Indonesia
Selain tantangan likuiditas, perbankan Indonesia juga harus bersiap terhadap dampak kebijakan Donald Trump terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia.
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), Sunarso, mengungkapkan bahwa kemenangan Trump dalam pemilihan presiden AS dengan kebijakan "America First" akan lebih bersifat proteksionis.
Kebijakan ini diperkirakan akan memicu inflasi di AS yang kemudian dapat mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga.
"Jika Trump cenderung protektif, maka inflasi di AS bisa meningkat, dan ini kemungkinan akan direspons oleh The Fed dengan kenaikan suku bunga," kata Sunarso dalam kesempatan yang sama.
Menurut Sunarso, jika AS menerapkan kebijakan proteksionis yang lebih ketat, lalu dibalas oleh China dengan perang dagang, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tertekan hingga di bawah 5 persen. Ia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi hanya berada di kisaran 4,7 persen hingga 5,03 persen jika hal ini terjadi.
- Biaya Pembatalan Proyek CBD Ciledug Wijaya Karya Capai Rp258,62 Miliar
- 10 Presiden AS Terkaya Sepanjang Masa
- Pilah-pilih Emiten Hary Tanoe Usai Donald Trump Menang Pilpres AS
Pengaruh Hubungan Dagang Indonesia dengan China
Sunarso juga menjelaskan bahwa perekonomian Indonesia memiliki ketergantungan yang cukup signifikan terhadap ekonomi China dibandingkan AS.
Data menunjukkan bahwa korelasi antara pertumbuhan ekonomi Indonesia dan China mencapai indeks 0,351, lebih tinggi dibandingkan korelasi dengan AS yang sebesar 0,347.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap perubahan dalam perekonomian China cenderung memberikan dampak yang lebih besar pada Indonesia.
"Hubungan dagang kita lebih kuat dengan China. Jika AS melakukan kebijakan protektif dan dibalas oleh China dengan tindakan serupa seperti sebelumnya, maka dampaknya terhadap ekonomi Indonesia cukup besar," tutur Sunarso.
Ia menambahkan bahwa ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap China membuat negara harus berhati-hati dalam menyikapi ketegangan perdagangan antara AS dan China.
Kesimpulan dan Harapan Perbankan
Dalam situasi yang penuh tantangan ini, industri perbankan Indonesia berharap ada kebijakan pemerintah yang dapat mendukung stabilitas dan daya beli masyarakat di dalam negeri.
Di tengah ketatnya likuiditas dan potensi dampak dari kebijakan AS, para bankir BUMN berharap ada sinkronisasi kebijakan yang mampu menjaga ekonomi Indonesia tetap tumbuh di tengah ketidakpastian global.
Meskipun terdapat berbagai faktor eksternal yang memengaruhi likuiditas dan perekonomian Indonesia, para pemimpin perbankan tetap optimis bahwa sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter dapat membantu perbankan untuk tetap tumbuh dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.