Nasional

Penggunaan BBG Bagi Transportasi Darat Dinilai Bisa Menekan Biaya Logistik

  • Di industri logistik, biaya BBM rata-rata diprediksi berkontribusi sekitar 20-25% terhadap ongkos produksi first mile-last mile.
Nasional
Yosi Winosa

Yosi Winosa

Author

JAKARTA -Lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi selama 6 bulan terakhir terus menjadi ancaman bagi perekonomian Indonesia. Mahalnya biaya BBM membuat beban biaya logistik kian meninggi. Di industri logistik, biaya BBM rata-rata diprediksi berkontribusi sekitar 20-25% terhadap ongkos produksi first mile-last mile.

Ketum Asosiasi Perusahaan Liquid & Compress Natural Gas Indonesia (APLCNGI) Dian Kuncoro mengatakan, sektor logistik nasional masih sangat tergantung pada angkutan darat yang mayoritas mengkonsumsi BBM. 

Oleh karena itu, ketika harga BBM mengalami kenaikan, maka lonjakan harga-harga pada barang konsumsi dan barang produksi langsung terjadi. Imbasnya adalah terjadinya kenaikan inflasi yang membuat tekanan terhadap perekonomian semakin tinggi. Untuk itu, ada baiknya dilakukan konversi ke BBG pada transportasi darat.

“Kami sudah berulangkali mengusulkan agar angkutan darat ini dapat bermigrasi ke BBG, sehingga ketergantungan terhadap BBM berkurang. Dengan semakin bertambahkan infrastruktur pengisian BBG, seharusnya pelaku usaha transportasi seperti truk dan angkutan barang lainnya mulai menggunakan BBG. Ini energi yang lebih bersih dan pasokannya selalu tersedia,” jelas Dian.

Dian membandingkan, harga BBG di Jabodetabek sendiri tidak pernah pernah naik ditengak kenaikan harga BBM. Bahkan sejak tahun 2013, harga BBG tetap dipatok Rp3.100 per liter setara premium (lsp). Baru sejak 1 April 2022 dinaikkan menjadi Rp4.500 per lps.

Menurut Dian, dengan populasi masyarakat yang masih tersentralisasi di pulau Jawa, penggunaan transportasi darat dalam bisnis jasa logistik masih akan dominan di masa depan. Karena itu, asosiasi ini mengusulkan agar pemerintah juga ikut mendorong penggunaan BBG bagi efisiensi di sektor logistik ini.

“BBG sangat membantu menekan biaya logistik. Saat ini jumlah kendaraan yang beroperasi dengan BBG dalam jumlah terbesar ada di Bluebird,” kata Dian.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, moda transportasi jalan berkontribusi terhadap PDB subsektor transportasi sebesar 69,38 persen, moda transportasi laut 8,71 persen dan moda transportasi rel 1,38 persen.

Dian menilai, konversi ke BBG sangat tepat dilakukan pada truk logistik dengan metode diesel dual fuel. Konversi ini bisa menghemat hingga 30% secara nominal rupiahnya dibandingkan dengan harga solar non-subsidi.

Untuk angkutan umum sendiri, efisiensi BBG didapat dari harga per lspnya yang jauh berbeda meskipun secara volume penggunaan bahan bakar nya akan lebih tinggi sekitar 10-15%. Sehingga secara keseluruhan efisiensi dari konversi ke BBG akan sangat signifikan.

“Ada jutaan truk pengangkut barang yang beroperasi di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Jika truk-truk ini, khususnya yang jarak pendek bisa beralih ke BBG, tentu penghematan biaya energinya akan sangat besar. Apalagi ketersediaan gas bumi di dalam negeri masih sangat besar dibandingkan BBM yang harus diimpor. Dengan catatakan menggunakan basis non subsidi ya karena jika masih pakai harga subsidi tidak akan worthed dikonversi,” imbuh Dian.

Ditambahkan Dian, asosiasi sendiri saat ini leboih fokus pada konversi ke BBG bagi kendaraan kecil dengan konsumsi bensin minimal 15 liter per hari. Sementara untuk konversi kendaraan disel masih terkendala harga solar subsidi.

“Selama solar masih disubsidi, secara ekonomi penghematan dari konversi ke BBG tidak akan berarti. Di sisi lain harus dilihat juga jalur truk, apakah memungkinkan untuk pengisian di titik tujuan truk mengingat ketersediaan SPBG di luar Jabodetabek saat ini masih terbatas,” tambah Dian.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan bahwa saat ini infrastruktur gas untuk transportasi jalan telah terbangun sebanyak 57 SPBG/MRU yang tersebar di beberapa provinsi di wilayah Indonesia.

Pada bulan Juli lalu Kementerian ESDM kembali meresmikan pengoperasian tiga SPBG, yaitu SPBG Kaligawe berkapasitas 1 MMSCFD atau 30.000 lsp per hari dengan harga jual Rp 4.500 per lsp. Harga BBG tersebut lebih rendah dibandingkan solar subsidi sebesar Rp 5.550 per liter. SPBG Kaligawe sudah dapat berfungsi sebagai Mother Station.

Dua lainnya adalah SPBG Penggaron dan SPBG Mangkang masing-masing memiliki kapasitas 0,5 MMSCFD atau 20.000 lsp. SPBG Mangkang telah selesai dimodifikasi dari OnlineStation menjadi Daugther Station. Sedangkan SPBG Penggaron dibangun sebagai Daughter Station. Ketiga SPBG yang berlokasi di Semarang, Jawa Tengah tersebut akan dioperasikan oleh Subholding Gas Pertamina yaitu PT PGN Tbk.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji menyatakan bahwa penggunaan BBG sangat tepat bagi kendaraan-kendaraan besar seperti truk dan bus. Oleh karena itu, pemerintah akan mendorong pembangunan infrastruktur BBG di jalan-jalan yang menjadi lalu lintas moda transportasi tersebut.

“Mengingat truk-truk dan bus biasanya melalui jalur atau rute yang rutin, untuk menjamin ketersediaan pasokan BBG, Pemerintah berencana akan membangun SPBG di jalur-jalur yang dilalui oleh kendaraan-kendaraan tersebut,” kata Tetuka dalam sebuah konferensi pers secara online awal tahun ini, 19 Januari 2022.