Ilustrasi tambang batu bara.
Nasional

Pengoperasian PLTU Eropa Dorong HBA Oktober Naik Tembus Rp5,03 Juta

  • Pengoperasian kembali pembangkit batu bara di sebagian negara Eropa turut mengerek permintaan batu bara global.
Nasional
Debrinata Rizky

Debrinata Rizky

Author

JAKARTA - Pengoperasian kembali pembangkit batu bara di sebagian negara Eropa turut mengerek permintaan batu bara global.

Akibatnya, Harga Batubara Acuan (HBA) pada bulan Oktober 2022 mengalami kenaikan sebesar US$11,75 per ton atau setara dengan Rp178,73 (kurs Rp15,211 per dolar AS) menjadi US$330,97 per ton setara dengan Rp5,03 juta.

"Selain naiknya rata-rata indeks, negara - negara Eropa seperti Jerman, Belanda dan Belgia telah menghidupkan kembali pembangkit batubara sebagai dampak dari pemangkasan gas oleh Rusia", kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi beberapa waktu lalu.

Pengaruh naiknya HBA berasal dari rata-rata indeks bulanan penyusunan HBA, yaitu ICI naik 3,63%, Platts naik 4,41%, GNCC naik 3,98%, dan NEX naik 3,08%.

Faktor kedua yang memengaruhi kenaikan HBA adalah adanya kendala pasokan gas alam di Eropa. Karena ada kebocoran jaringan gas yang terjadi di Laut Baltik.

Pergerakan HBA Oktober merupakan yang tertingi sejak awal 2022 padahal nilai tertinggi sebelumnya terjadi pada Juni. HBA menyentuh angka US$323,91 per ton atau setara dengan Rp4,92 juta.

Faktor kondisi geopolitik Eropa imbas konflik Rusia - Ukraina serta krisis listrik di India akibat gelombang hawa panas masih menjadi faktor pengerek utama.

Setelahnya HBA cenderung fluktuatif mengalami kenaikan dan penurunan. HBA Agustus ada di angka US$321,59 per ton atau setara dengan Rp4,89 juta dan September 2022 sebesar US$319,22 per ton atau setara dengan Rp4,855 juta.

Selain itu ada dua faktor turunan yang juga memengaruhi pergerakan HBA yaitu, supply dan demand. Pada faktor turunan supply dipengaruhi oleh season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.

Sementara untuk faktor turunan demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.