Pengusaha Ngaku Tak Dilibatkan Dalam Keluarnya Kebijakan Tapera
- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani mengaku, pengusaha dan buruh tak dilibatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan pada 20 Mei 2024.
Properti
JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani mengaku, pengusaha dan buruh tak dilibatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan pada 20 Mei 2024.
Shinta mengatakan, selaku pengusaha APINDO sempat diajak pemerintah untuk berunding terkait Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat bukan PP Nomor 21 Tahun 2024. Bahkan pihaknya sempat diminta pemerintah untuk konsultasi bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Konsultasi jadi sepanjang waktu membutuhkan undang-undang nomor 4 di tahun 2016 itu kami juga sudah diminta konsultasi ke DPR dan itu kami sampaikan sebenarnya niat undang-undang itu kan baik. sebenarnya untuk menyediakan rumah bagi kaum miskin, itu sebenarnya awalnya itu dari situ," katanya dala konpers APINDO terkait Tapera di Jakarta pada Jumat, 31 Mei 2024.
- Soal Mutu Beton Tol MBZ, Saksi PMI Sebut Sudah Dilakukan Perbaikan Setiap Ada Temuan
- Pertamina Retail Cetak Pendapatan Rp24,36 Triliun Sepanjang 2023, Ini Pendorongnya
- Amerika Akhirnya Izinkan Ukraina Gunakan Senjatanya Menyerang Wilayah Rusia
Shinta mengaku kaget terkait kelurnya PP tersebut, yang kemudian dalam baleid pasal 7 masuk ke ranah pekerja diwajibkan untuk mengikuti iuran Tapera ini tanpa terkecuali. Shinta menyoroti hal lainya ialah permasahkan pembebanan iuran kemudian dibebankan kepada pekerja akan memberatkan.
APINDO Surati Presiden
Ketua APINDO ini menyebut, saat UU no 4 Tahun 2016 dirumuskan, ia langsung menyurati Presiden namun tak kunjung mendapat tanggapan. Justru Shinta mendapati Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ditetapkan pada 20 Mei 2024.
Menurutnya pemerintah masih perlu melakukan banyak konsultasi dan review ke pekerja hingga pengusaha sebelum PP ini dilaksanakan.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan menolak program Tabungan Perumahan Rakat (Tapera), selain menambah beban pengusaha dan pekerja, program ini sudah ada di BPJS Ketenagakerjaan.
Apindo pada dasarnya mendukung kesejahteraan pekerja dengan adanya ketersediaan perumahan bagi pekerja. Namun, program tersebut sudah ada di Manfaat Layanan Tambahan (MLT) di BPJS Ketenagakerjaan.
Shinta menyarankan agar pemerintah dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan, dimana sesuai PP adalah sebesar maksimal 30 % atau 138 Triliun. Karena Aset JHT sebesar Rp460 Triliun dianggap bisa digunakan untuk program MLT perumahan bagi pekerja, mengingat ketersediaan dana MLT yang sangat besar dan dinilai belum maksimal pemanfaatannya.
Sebelumnya, tak hanya Apindo, Kamar Dagang Indonesia (KADIN) meminta kebijakan ini dibatalkan mengingat nasib para pengusaha yang juga ekstra mengeluarkan tambahan operasional pada iuran ini.
Ketua Umum KADIN Jakarta Diana Dewi mengatakan, kewajiban membayar Tapera sejatinya merupakan tanggung jawab masing-masing pekerja. Meskipun perusahaan ikut serta, sifatnya hanya membantu saja, terkait administrasinya.
Diana menjelaskan, apabila itu menjadi tanggung jawab perusahaan, dalam arti di luar gaji yang diberikan, berarti ada extra cost yang harus dikeluarkan.
Tidak tepat bila upaya pemerintah untuk menanggulangi backlog perumahan lantas membebankan kepada rakyat, melalui kewajiban iuran Tapera bagi seluruh pekerja.
Adapun Berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2024, besaran simpanan peserta atau iuran dari Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah 3% dari gaji atau upah Peserta Pekerja dan penghasilan untuk Peserta Pekerja Mandiri.
Besaran simpanan untuk Peserta Pekerja ditanggung bersama oleh Pemberi Kerja sebesar 0,5% dan Pekerja sebesar 2,5%. Sementara besaran simpanan untuk Peserta Pekerja Mandiri ditanggung sendiri sebesar 3%.
"Saya berharap pemerintah juga bisa bijaksana melihat persoalan tersebut sehingga perusahaan tidak merasa tertekan untuk mengeluarkan ekstra cost seperti itu. Meski implementasi kebijakan itu hingga 2027 nanti, namun sebaiknya dibatalkan," katanya kepada TrenAsia pada Jumat, 31 Mei 2024.