Pengusaha Rokok Dukung Penurunan Prevalensi Perokok Anak
JAKARTA – Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero), Sulami Bahar menyatakan sepakat dengan agenda pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak yang makin mengkhawatirkan. Sebagai pengusaha rokok, Sulami menegaskan sudah menjalankan bisnisnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam hal ini upaya untuk tidak menjadikan anak di bawah umur sebagai target konsumen. “Kami sendiri dari industri rokok sebenarnya juga […]
Nasional & Dunia
JAKARTA – Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero), Sulami Bahar menyatakan sepakat dengan agenda pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak yang makin mengkhawatirkan.
Sebagai pengusaha rokok, Sulami menegaskan sudah menjalankan bisnisnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam hal ini upaya untuk tidak menjadikan anak di bawah umur sebagai target konsumen.
“Kami sendiri dari industri rokok sebenarnya juga tidak menghendaki adanya kenaikan prevalensi merokok anak, karena kita sudah mengikuti peraturan pemerintah,” kata Sulami dalam pernyataan resmi, Selasa, 6 Oktober 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Tingginya jumlah prevalensi anak membuat sejumlah pihak mendesak adanya kenaikan tarif cukai rokok. Sebab, cukai rokok merupakan salah satu instrumen pengendalian yang dinilai efektif.
Jika harga rokok mahal, maka keterjangkauan anak untuk membeli rokok diharapkan menurun. Namun, Sulami berpendapat sebaliknya.
Faktor Anak jadi Perokok
Menurutnya, faktor terbesar seorang anak merokok adalah replikasi kebiasaan anggota keluarga. Selain itu juga terpengaruh pendidikan, lingkungan sosial, teman sekolah dan kondisi psikologis, dan faktor lainnya.
Justru, harga rokok mahal tidak menjamin penurunan prevalensi perokok anak. Berdasarkan hasil riset kenaikan cukai, Sulami menyampaikan bahwa 43% perokok memilih beralih ke produk lain.
Sementara 57% tidak beralih produk rokok. “Sehingga harga yang berubah tidak berpengaruh terhadap perubahan konsumsi rokok usia dini,” tambah Sulami.
Sulami berharap pemerintah fokus mengoptimalkan kebijakan yang sudah ada. Seperti di pendidikan, sosialisasi, regulasi pemasaran, meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan program pemberian susu dan makanan bergizi secara gratis bagi balita Indonesia melalui Posyandu.
Perokok di Indonesia
Sebagai informasi, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi merokok pada anak dan remaja meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018.
Angka tersebut jauh dari target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019 yang menargetkan perokok anak turun hingga 5,4% pada 2019.
Secara umum, Indonesia memiliki angka prevalensi merokok yang tergolong tinggi. Data Bank Dunia (2019) mencatat Indonesia sebagai negara dengan angka perokok tertinggi yakni sebanyak 85 juta perokok.
Selain itu, data Riskesdas pada tahun 2018 juga menyatakan prevalensi merokok di Tanah Air pada usia 10 tahun dan lebih tua dilaporkan sebesar 28,8%. (SKO)