Lanskap gedung bertingkat dan perkantoran di Jakarta, Senin, 1 November 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Industri

Penyaluran Kredit Bank Terancam Sinyal Tapering Off The Fed

  • Secara umum, dampak tapering off the Fed yang akan dimulai November 2021 ini hingga pertengahan tahun 2022 cenderung terbatas dibandingkan dengan tapering off the Fed tahun 2013 yang lalu.

Industri

Muhamad Arfan Septiawan

JAKARTA - Mengakhiri tahun ini, Gubernur Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell membawa kabar yang dapat menggerakan arah kebijakan moneter berbagai negara di dunia. Bank sentral Amerika Serikat (AS) tersebut mengumumkan akan mengurangi secara berkala stimulus pembelian US Treasury Bond (Obligasi Pemerintah AS) menjadi US$15 miliar per bulan. 

Hal itu menandai adanya tapering off yang dilakukan Negeri Paman Sam. Stimulus perlahan dicabut setelah The Fed menilik perekonomian AS mulai bangkit kembali usai dipukul pandemi COVID-19.

Kebangkitan ekonomi AS ditandai dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mencapai 6,2% year on year (yoy) pada Oktober 2021 atau tertinggi sejak 1990. Tidak hanya itu, Kementerian Ketenagakerjaan AS juga melaporkan telah menciptakan 531.000 lapangan kerja non-pertanian (non-farm payroll) pada Oktober 2021. 

Realisasi pekerjaan baru tersebut jauh lebih tinggi ketimbang September 2021 yang sebesar 312.000 atau konsensus dari Reuters yang mencapai 450.000. Staf Ahli Pusat Studi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus pengamat perbankan Paul Sutaryono menyebut gerak tapering off berpotensi memaksa Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan. 

Menaikkan suku bunga acuan, kata Paul, mesti dilakukan BI sebelum didahului oleh The Fed agar tidak terjadi capital outflow yang terlampau tinggi pada 2022. Di sisi lain, kenaikan suku bunga BI ini disebut bisa mengganggu laju pertumbuhan kredit perbankan yang tengah beranjak naik sejak kuartal III-2021.

“Kemungkinan besar, tapering off menghambat pertumbuhan kredit perbankan. Mengapa? Karena suku bunga acuan BI mungkin mengalami kenaikan sehingga meningkatkan biaya dana (cost of fund) bagi bank. Hal itu dapat mengerem penurunan suku bunga kredit,” ucap Paul saat dihubungi TrenAsia.com, Jumat, 12 November 2021. 

Dengan laju tapering off saat ini, besar kemungkinan The Fed akan mengerek suku bunga kredit pada semester I-2022. Maka dari itu, Paul mendorong pelaku industri perbankan untuk tidak serampangan melakukan ekspansi kredit karena kenaikan suku bunga acuan BI secara langsung bisa mempengaruhi kualitas kredit yang dikucurkan.

“Intinya, bank wajib bertindak lebih prudent dalam mengucurkan kredit pada saat ini. Hal itu bertujuan untuk mencegah kenaikan Non performing loan (NPL),” tegasnya.

Memori Kelam Taper Tantrum dan Kesiapan BI  

Ilustrasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Kondisi ini bukan kali pertama dihadapi Indonesia. Pada 2013, ekonomi Indonesia sempat terguncang saat The Fed mengurangi stimulus pembelian obligasi pemerintah dan obligasi untuk  penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) di Negeri Paman Sam.

Imbasnya, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan investor asing yang mencatatkan net sell di pasar saham sebesar Rp15,29 triliun. 

Pasar keuangan pun ikut terkena guncangan dari penguatan mata uang dolar yang menembus 12% pada 2014. Bahkan, kurs rupiah sempat terseret dari Rp9.790 pada Mei 2013 menjadi Rp14.730 per dolar AS pada 2015 atau melemah 66,46%.

Dipantik pengurangan stimulus The Fed, BI pun terus mengerek suku bunga acuan, dari 5,75% pada Mei menjadi 6,00% pada Juni 2013. Pantauan TrenAsia.com, BI Rate pun terus naik menjadi 7,50% pada penghujung 2013 hingga Oktober 2014.

Puncaknya, BI Rate sempat menembus 7,75% pada November 2014 dan berangsur turun mulai Januari 2016.  Potensi kenaikan suku bunga ini, kata Paul, perlu diwaspadai pelaku industri perbankan pada 2022.

Kendati demikian, ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI) Josua Pardede menyebut makroekonomi Indonesia yang telah kokoh membuat dampak tapering off kali ini tidak akan separah 2013. 

“Secara umum, dampak tapering off the Fed yang akan dimulai November 2021 ini hingga pertengahan tahun 2022 cenderung terbatas dibandingkan dengan tapering off the Fed tahun 2013 yang lalu. Sementara itu, implikasi pada kebijakan moneter BI, stance kebijakan moneter BI cenderung akan pro stability pada tahun 2022 merespons kebijakan tapering off the Fed,” ucap Josua saat berbincang dengan wartawan TrenAsia.com pekan lalu.

Tingkat inflasi di dalam negeri dan Current Account Deficit (CAD) yang rendah disebut Josua bakal menahan efek tapering off. Tidak hanya itu, BI juga memiliki cadangan devisa tinggi, yakni US$145,5 miliar atau setara Rp2.087 triliun per Oktober 2021.

Kesiapan Bank

Ilustrasi transaksi perbankan. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Hingga kuartal III-2021, sejumlah pelaku industri perbankan telah mengumumkan target penyaluran kredit untuk 2022. Meski ada momentum akselerasi pemulihan ekonomi, beberapa emiten perbankan ini masih memasang target moderat dengan mayoritas berada di kisaran single digit. 

PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI)5% yoy
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI)7%-10% yoy
PT Bank Permata Tbk (BNLI)6% yoy
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI)8% yoy
Dihimpun dari berbagai sumber

Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rudi As Aturridha membeberkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dalam negeri menjadi acuan penting dalam mematok target penyaluran kredit pada 2022. Dirinya percaya, bila ekonomi Indonesia bisa tumbuh sesuai perkiraan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar 5,2% yoy, target kredit bisa terpenuhi.

Hal itu sejalan dengan strategi perseroan dalam menggenjot penyaluran kredit di segmen wholesale banking. Korporasi yang mulai menunjukkan pemulihan menjadi sentimen positif yang semakin memberikan optimisme terhadap kinerja penyaluran kredit BMRI.

“Dalam menentukan strategi bisnis, Bank Mandiri tentunya telah memperhatikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia maupun global yang sesuai dengan kondisi terkini,” kata Rudi.

Hingga akhir September 2021, penyaluran kredit Bank Mandiri secara konsolidasi telah mencapai Rp1.021,6 triliun atau tumbuh sebesar 16,93% secara yoy. Di sisi lain, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) parkir di level 2,96% atau turun 37 basis poin (bps) secara tahunan. 

“Untuk mengantisipasi penurunan kualitas kredit, Bank Mandiri juga telah membentuk pencadangan untuk memastikan relevansi kualitas kredit dengan kondisi eksisting. Per September 2021 secara year to date (ytd), Bank Mandiri telah membukukan biaya Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) secara konsolidasi sebesar Rp 16,4 triliun dengan rasio NPL Coverage berada di level yang memadai,” katanya.

Sementara itu, Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza menyebut koordinasi kebijakan The Fed yang terjaga membuat perseroan bisa lebih matang memetakan efek dari tapering off. Kesiapan ini pun ditopang oleh fokus penyaluran kredit di segmen mikro-kecil yang diperkirakan terus membaik pada 2022.

“Bank sentral juga telah mengantisipasi melalui berbagai kebijakan yang mendukung kestabilan rupiah, sehingga dengan berbagai faktor tersebut, pengelolaan risiko terhadap potensi kenaikan suku bunga oleh the Fed akan lebih terukur,” jelas Aestika secara terpisah.

Aestika bilang penguatan komposisi kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) masih menjadi fokus pada 2022. BRI menargetkan komposisi kredit UMKM BRI meningkat dari 82,67% pada kuartal III-2021 menjadi 85% pada 2022.

“Dua strategi utama BRI dalam menjaga pertumbuhan bisnisnya, pertama yakni dengan menaik-kelaskan pelaku UMKM, dari mikro menjadi kecil dan kecil menjadi menengah. Strategi kedua yakni dengan terus mencari sumber pertumbuhan baru sehingga BRI akan menyalurkan pinjaman ke segmen yang lebih kecil lagi, ultra mikro,” papar Aestika.

Hingga kuartal III-2021,Total kredit yang dikucurkan emiten bersandi saham BBRI ini tumbuh 9,74% yoy dari Rp935,35 triliun menjadi Rp1.026,42 triliun. Adapun NPL Coverage BRI pada periode yang sama berada di angka 252,94%.