<p>Produk rokok HM Sampoerna. / TrenAsia-Sukirno</p>
Industri

Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai dan Dampaknya Pada Industri Rokok

  • JAKARTA— Penelitian dari Forum for Socio-Economic Studies (Foses) menyoroti adanya isu penyederhanaan struktur tarif cukai rokok. Menurut riset tersebut, simplifikais itu akan menimbulkan sejumlah masalah di industri hasil tembakau (IHT), utamanya soal persaingan pabrik rokok kecil dan pabrik besar. Putra Perdana, salah satu peneliti dari Foses memaparkan penyederhanaan ini akan menimbulkan persaingan yang tidak adil. […]

Industri

Ananda Astri Dianka

JAKARTA— Penelitian dari Forum for Socio-Economic Studies (Foses) menyoroti adanya isu penyederhanaan struktur tarif cukai rokok. Menurut riset tersebut, simplifikais itu akan menimbulkan sejumlah masalah di industri hasil tembakau (IHT), utamanya soal persaingan pabrik rokok kecil dan pabrik besar.

Putra Perdana, salah satu peneliti dari Foses memaparkan penyederhanaan ini akan menimbulkan persaingan yang tidak adil. Sebab, hal itu akan memaksa perusahaan rokok kecil atau rumahan bersaing dengan perusahaan rokok besar.

Padahal, serapan tenaga kerja di industri ini disebabkan ragam kategori pabrikan yang ada di Indonesia mulai dari pabrikan kecil, menengah hingga besar. Sehingga, apabila struktur dibuat sederhana, maka persaingan menjadi tidak sehat.

“Penyederhanaan struktur tarif cukai memiliki dampak negatif terhadap industri dan tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan dari simulasi penyederhanaan struktur tarif cukai model estimasi simplifikasi dari 10 layer ke 6 layer,” kata Putra, Rabu, 17 Juni 2020.

Hasil dari simulasi tersebut menunjukkan setiap terjadi pengurangan 1 layer dari struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) akan berpotensi pada turunnya volume produksi rokok sigaret kretek mesin (SKM) sebesar 7%, sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 9%, dan sigaret putih mesin (SPM) sebesar 6%.

“Artinya, ada indikasi penyederhanaan tarif CHT dari 10 layer menjadi 6 layer berpotensi menurunkan tenaga kerja IHT sebesar 18,4 % dan menurunkan volume produksi rokok sebesar 3,6%,” papar Putra.

Dalam risetnya, Putra menjelaskan hasil implementasi kebijakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) selama periode 2015-2018 yang selalu memberikan pengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja di sektor IHT.

PMK yang terbit tahun 2016, 2017 dan 2018 secara berturut-turut terindikasi berkontribusi pada penurunan jumlah tenaga kerja IHT sebesar 7,77 %, 4,26 % dan 4,88 %.

Sebagai informasi, selama ini pabrikan besar biasanya menyerap tembakau kualitas tertinggi, serta menghasilkan produk dengan volume tertinggi di atas 3 miliar batang per tahun untuk SKM dan SPM, serta di atas 2 miliar untuk SKT.  

Di sisi lain, pabrikan menengah dan kecil, menyerap kualitas tembakau yang ada di bawahnya, serta menghasilkan volume produksi yang lebih kecil pula.

“Keberagaman pabrikan dan tingkatan inilah yang menghidupkan IHT di Indonesia selama berpuluh tahun menjadi industri yang strategis serta memberi kontribusi yang positif kepada negara,” tegasnya. (SKO)