<p>Awak Media beraktivitas dengan latar belakang pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jum&#8217;at, 17 Juli 2020. Indeks harga saham gabungan (IHSG) mencatat koreksi 0,21 persen di akhir sesi pertama perdagangan Jumat 17 Juli 2020. Kekhawatiran terkait gelombang kedua penyebaran virus corona (Covid-19) dan aksi ambil untuk atau profit taking dinilai menjadi penyebab koreksi indeks. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Pepatah 'Sell in May and Go Away' dalam Investasi Saham, Valid atau Tidak?

  • Bulan Mei menjadi momok yang menakutkan bagi beberapa investor ataupun trader di pasar saham. Memasuki Bulan tersebut, pasar selalu diidentikan dengan kinerja yang kurang memuaskan sesuai dengan pepatah yang dikenal luas oleh para pelaku pasar yakni "Sell in May and Go Away".
Industri
Muhammad Farhan Syah

Muhammad Farhan Syah

Author

JAKARTA - Bulan Mei menjadi momok yang menakutkan bagi beberapa investor ataupun trader di pasar saham. Memasuki Bulan tersebut, pasar selalu diidentikan dengan kinerja yang kurang memuaskan sesuai dengan pepatah yang dikenal luas oleh para pelaku pasar yakni "Sell in May and Go Away".

Namun apakah pepatah tersebut terbukti valid, serta darimana asumsi tersebut awalnya muncul di kalangan komunitas pelaku pasar?

Melansir laman Investopedia, "Sell in May and Go Away" sebenarnya merupakan strategi investasi saham yang berlandaskan pemahamanan bahwa kinerja pasar pada periode antara bulan November-April cenderung dinilai lebih baik ketimbang rata-rata pada pertumbuhannya di bulan Mei-Oktober.

Istilah tersebut awalnya berasal dari sebuah pepatah tua yang beredar di Inggris yakni "Sell in May and go away, and come on back on St. Leger's Day", yang sebenarnya cerminan dari kebiasan para bangsawan, pedagang hingga bankir di kota London untuk meninggalkan kota selama berbulan-bulan sepanjang musim panas untuk berlibur. 

Sementara, “St. Leger's Day” mengacu pada St. Leger's Stakes, yang merupakan gelaran pacuan kuda murni yang rutin diadakan setiap pertengahan bulan September di kota tersebut.

Pada akhirnya budaya itu dianut oleh para trader dan investor di Amerika yang cenderung lebih banyak menghabiskan banyak waktunya untuk berlibur pada periode antara bulan Mei hingga Oktober.

Kebiasan yang dilakukan oleh para pelaku pasar itu kemudian berdampak secara rill pada kinerja pasar modal Amerika selama lebih dari setengah abad, pasalnya akibat pepatah tersebut banyak para pelaku pasar yang melakukan aksi profit taking atau bahkan melepas posisinya untuk sekadar menghindari sentimen “Sell in May and Go Away” dengan mengalihkannya ke instrumen lain seperti reksadana.

Meski begitu, bagi pasar modal di Indonesia, fenomena tersebut nyatanya tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap kinerja IHSG (Index Harga Saham Gabungan). 

Pada periode bulan Mei-Oktober IHSG tidak melulu tercatat negatif, hal itu seperti yang diungkapkan Direktur PT Panin Asset Management Rudiyanto dalam tulisannya yang mengatakan bahwa tingkat akurasi "Sell in May and Go Away" terhadap IHSG hanya sebesar 38%.

Sumber: Rudiyanto.blog

Dari analisis data historikal di atas, tingkat akurasi teori "Sell in May and Go Away" ternyata hanyalah sebesar 38%,  ditandai dengan negatifnya kinerja IHSG pada periode bulan Mei-Oktober selama delapan kali dari total 20 kali periode yang dihitung.

Rendahnya tingkat akurasi tersebut mengindikasikan bahwa teori tersebut tidak sepenuhnya benar dan dianut oleh para pelaku pasar di Indonesia. Namun begitu, pepatah tersebut tetap eksis dan menjadi topik hangat yang selalu dibicarakan setiap tahunnya di kalangan komunitas pelaku pasar ketika hendak memasuki bulan Mei.