<p>Menteri Keuangan, Sri Mulyani (kanan) berbincang dengan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo (kiri) saat hadir pada Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 2 September 2020. Raker tersebut membahas asumsi dasar Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Per 15 September 2020, BI Sudah Beli SBN di Pasar Perdana Sebesar Rp48,03 Triliun

  • JAKARTA – Bank Indonesia (BI) telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana sebesar Rp48,03 triliun per 15 September 2020. Pembelian tersebut dilakukan melalui mekanisme pasar sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 16 April 2020, termasuk dengan skema lelang utama, Greenshoe Option (GSO) dan Private Placement. “Bank Indonesia melanjutkan komitmen untuk pendanaan […]

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana sebesar Rp48,03 triliun per 15 September 2020.

Pembelian tersebut dilakukan melalui mekanisme pasar sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 16 April 2020, termasuk dengan skema lelang utama, Greenshoe Option (GSO) dan Private Placement.

Bank Indonesia melanjutkan komitmen untuk pendanaan APBN 2020 melalui pembelian SBN dari pasar perdana dalam rangka pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2020 sebagai upaya mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN),” jelas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis, 18 September 2020.

Sementara itu, realisasi pendanaan dan pembagian beban untuk pendanaan Public Goods dalam APBN berjumlah Rp99,08 triliun.

Dengan pembelian SBN tersebut, kata Perry, pemerintah dapat fokus pada upaya akselerasi memulihkan perekonomian. Kemudian, dari segi pendanaan Non Public Goods usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), BI menggelontorkan Rp44,38 triliun sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 7 Juli 2020.

Perry mengungkapkan, saat ini stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun risiko dari meluasnya dampak COVID-19 harus senantiasa dicermati.

Stabilitas tersebut dibuktikan melalui rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan yang tetap tinggi, sebesar 22,96% pada Juli 2020. Sebaliknya, rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) juga tetap rendah yakni 3,22% secara bruto dan 1,15% secara neto.

Akan tetapi, lanjut Perry, fungsi intermediasi dari sektor keuangan dipandang masih lemah karena pertumbuhan kredit belum berjalan maksimal.

“Pertumbuhan kredit masih terbatas, sejalan permintaan domestik yang belum kuat. Kinerja korporasi sendiri masih tertekan sehingga perbankan sangat berhati-hati dalam menyalurkan pembiayaan,” jelasnya.

Nilai pertumbuhan kredit pada Agustus 2020 tercatat rendah, yakni 1,04% year-on-year (yoy). Namun, Dana Pihak Ketiga (DPK) masih tumbuh pesat, yakni tercatat 11,64% (yoy).

Perry pun meyakini, intermediasi perbankan dapat membaik sejalan prospek pemulihan ekonomi domestik. “Akan tetapi ada juga beberapa sektor yang mencatat peningkatan pertumbuhan kredit, yaitu sektor pertanian, pertambangan, dan transportasi,” tuturnya.