<p>Fintech P2P Lending AdaKami. / Facebook @adakami.id</p>
Industri

Perang Bisnis Kredit Bank Vs Pinjaman Online: Siapa Menang, Siapa Tumbang?

  • Awalnya, kemunculan fintech P2P lending dianggap sebagai ancaman oleh bank-bank konvensional.

Industri

Drean Muhyil Ihsan

JAKARTA – Muncul pada tahun 2016, industri financial technology peer-to-peer lending (fintech P2P lending) telah berdiri sebagai salah satu pemain dalam sektor layanan keuangan berbasis digital di Tanah Air. Kemunculan entitas-entitas layanan kredit online ini bak cendawan yang tumbuh di musim hujan.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 5 Agustus 2020, fintech lending resmi di Indonesia mencapai 158 perusahaan. Sementara, sepanjang tahun 2018 hingga semester I 2020, OJK telah menghentikan operasi 2.591 fintech lending ilegal.

Dari data tersebut, terbukti bahwa bisnis platform yang mempertemukan peminjam dana (borrower) dengan pemberi pinjaman (lender) ini sangat menarik. Bagaimana tidak, ceruk pasar industri satu ini sangat luas, bahkan bisa jadi lebih luas dari perbankan konvensional.

Populasi unbanked atau mereka yang tidak memiliki akses kredit perbankan di Indonesia mencapai lebih dari 60%. Artinya sekitar 150 juta rakyat Indonesia inilah yang menjadi sasaran kredit fintech lending.

Sejak kemunculannya, jumlah kredit yang berhasil disalurkan fintech P2P lending secara nasional mencapai lebih dari Rp100 triliun. Meskipun nilainya jauh lebih kecil dari penyaluran kredit perbankan, namun tingkat pertumbuhan kredit fintech P2P lending jauh lebih baik. Jadi untuk industri keuangan yang baru seumur jagung, capaian ini sudah terbilang sangat baik.

Ilustrasi kredit online fintech peer to peer (P2P) lending. / Shutterstock

Perbedaan Mendasar

Secara garis besar, fintech P2P lending merupakan sebuah platform yang mempertemukan antara peminjam dana dan pemberi pinjaman. Sehingga perusahaan dilarang memberikan pinjaman langsung kepada borrower. Sehingga jelas dalam neraca fintech lending tidak akan ditemukan mengenai pinjaman. Hal ini tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Sementara, digital banking merupakan sebuah konsep yang berbeda dengan fintech lending. Perbankan menerima dan/atau menghimpun dana publik dalam bentuk tabungan atau deposito. Kemudian bank yang akan meminjamkan atau menyalurkan uang itu kepada pihak lain.

Teknologi digital yang dikenakan perbankan digunakan untuk melakukan pinjaman dan bersifat on balanced atau dicatat di dalam neraca perbankan. Oleh sebab itu, di dalam bisnis model perbankan, prinsip kehati-hatian sangat dijaga. Atau dengan kata lain perbankan sangat syarat dengan prinsip prudential regulation.

Sementara di fintech P2P lending patut menjalankan prinsip market of conduct. Artinya sebuah entitas fintech lending harus mengedepankan transparansi karena mereka hanya mempertemukan pemberi dan penerima pinjaman.

Layanan mobile banking BCA. / Facebook @BankBCA

Kepincut Pinjol

Dari tahun ke tahun, industri fintech lending mengalami pertumbuhan kredit yang sangat signifikan. Hal ini yang turut memicu bank-bank konvensional kelas kakap dalam negeri melirik industri layanan pinjaman online tersebut.

Sebagai contoh, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) pertama kali menyuntikkan dana sebesar Rp50 miliar kepada anak usahanya, PT Central Capital Ventura (CCV). Dana tersebut diperuntukan guna mengembangkan financial technology. Beberapa bulan kemudian, perusahaan berkode emiten BBCA ini kembali menggelontorkan dana sebesar Rp200 miliar kepada CCV.

“BCA melihat hadirnya fintech ini berhasil membuka pintu baru bagi perkembangan bisnis perbankan di tanah air,” ujar Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA, Hera F Haryn saat berbincang dengan TrenAsia.com belum lama ini.

Ia menjelaskan, CCV merupakan perusahaan modal ventura yang memfokuskan pendanaan kepada perusahaan fintech dan perusahaan lain yang berbasis teknologi. CCV diharapakan dapat mendukung ekspansi bisnis fintech.

Tahun lalu, BCA juga resmi mengakuisisi PT Bank Royal Indonesia. Sesuai rencana, bank umum kegiatan usaha (BUKU) 2 ini disulap menjadi bank digital. Sejauh ini, diketahui Bank Royal telah mendapat siraman dana dari induknya Rp1 triliun lebih.

Pada awal tahun 2020, bank milik orang terkaya RI ini kembali menjalin kerja sama dengan fintech P2P lending yakni PT Mitrausaha Indonesia Grup atau Modalku. Ekspansi ini guna mendukung sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan memberikan kredit melalui Modalku.

Gedung BRI di Kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. / Bri.co.id

Bank BUMN Tak Mau Kalah

Sementara itu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau Bank BRI juga mengakui ketertarikannya pada industri fintech. Agak berbeda dengan BCA, BRI justru berusaha mendirikan layanan digital dengan mengadopsi sistem P2P lending melalui Pinang. Layanan tersebut dikelola oleh anak perusahaan PT BRI Agroniaga Tbk alias BRI Agro.

Corporate Secretary Bank BRI, Aestika Oryza Gunarto mengungkapkan, pihaknya menyiapkan 3%-4% dari total revenue Bank BRI untuk melakukan transformasi digital. Di dalamnya, termasuk membangun kapabilitas fintech secara umum, dan secara khusus untuk fintech P2P lending.

“Kalau di BRI Ventures, kami menyiapkan dana sampai Rp1,5 triliun saat ini untuk melakukan investasi ke fintech,” jelasnya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon.

Aestika berharap pada tahun 2022 mendatang, mayoritas transaksi BRI bisa bergeser ke digital dari konvensional. Tanda-tanda ini, katanya, mulai terlihat sejak pandemi saat terjadi percepatan transaksi digital.

“Sebagai contoh, Periode Januari hingga Maret 2020, tercatat transaksi internet banking meningkat 215 persen, dan transaksi e-commerce meningkat 106 persen,” imbuhnya.

Ketua Bidang Humas & Institusional AFPI, Tumbur Pardede hadir sebagai narasumber pada Seminar Nasional Daring kerjasama KADIN Indonesia dan AFPI di Jakarta, Kamis, 3 September 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Kesempatan Atau Ancaman?

Awalnya, kemunculan fintech P2P lending dianggap sebagai ancaman oleh bank-bank konvensional. Namun sejak tahun lalu, pandangan ini berubah. Fintech P2P lending tidak lagi dianggap sebagai ancaman, bahkan saat ini menjadi kesempatan bank konvensional untuk melebarkan sayap bisnisnya.

Ketua Bidang Institutional and PR Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Tumbur Pardede menegaskan pihaknya hanya fokus pada sektor unbanked dan undeserved. Artinya, memang target industri fintech lending bukan nasabah kredit perbankan.

Dalam perjalanannya, bank konvensional penasaran dengan model bisnis fintech lending yang menggiurkan ini. Tanpa prinsip kolateral, sebuah entitas fintech P2P lending sanggup menjaga tingkat rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL)-nya dengan baik.

Industri ini juga terus berinovasi dengan melakukan kerja sama dengan lembaga asuransi sebagai penguat jaminan pinjaman. Tidak kuat dengan manuver yang dilakukan pemain baru ini, para bank konvensional mulai membangun kerja sama dengan menjadi institusi lender di beberapa platform pinjol.

“Akhirnya mereka melakukan channeling. Singkatnya kami jadi kerja sama, mulai dengan bank daerah dan lain-lain,” kata Tumbur.

Yang tadinya dianggap musuh, saat ini keduanya bak kupu-kupu dan bunga yang menjalankan interaksi simbiosis mutualisme. Di satu sisi, entitas fintech lending akan mendapatkan lender yang artinya akan menumbuhkan jumlah permodalan. Di sisi lain, bank konvensional akan mendapatkan nasabah kredit baru dari borrower perusahaan fintech P2P.

Kondisi ini juga ditanggapi positif oleh PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia (Akseleran). Sebagai entitas fintech P2P lending, Akseleran mengaku masuknya bank konvensional ke industri fintech tidak menggangu ekosistem yang berlangsung selama ini. Bahkan, diharapkan dapat lebih memperkuat perannya dalam memperluas akses keuangan bagi masyarakat.

“Setiap pelaku sektor keuangan dituntut untuk mampu memberikan layanan maupun produk keuangan yang inovatif, lebih efisien, cepat, mudah, dan memberikan lebih banyak pilihan kepada masyarakat atau pelaku usaha,” tutur Senior Vice President Corporate Communications Akseleran, Rimba Laut melalui pesan singkat.

Materi diskusi tampak dilayar komputer peserta pada Seminar Nasional Daring kerjasama KADIN Indonesia dan AFPI di Jakarta, Kamis, 3 September 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Model Kerja Sama

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi menjelaskan bahwa secara prinsip dan bisnis model, perbankan dan fintech lending sangat berbeda. Oleh karena itu, keduanya justru dapat menjalin kerja sama serta bersinergi dalam ekosistem ekonomi digital.

Hendrikus memberikan contoh penggunaan escrow account di perbankan oleh fintech P2P lending. Escrow account sendiri merupakan rekening yang dibuka untuk menampung dana tertentu yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan syarat khusus.

Karena tidak boleh menghimpun dana publik, maka fintech P2P lending wajib menggunakan escrow account. Sehingga, semua pihak yang memberi pinjaman, sebelum disalurkan  harus di tampung dahulu dalam rekening tersebut.

“Dengan kata lain, fintech P2P lending dalam menjalankan bisnisnya juga sangat bergantung pada business model bank konvensional atau bank digital,” ungkapnya saat berdiskusi dengan reporter TrenAsia.com melalui sambungan telepon.

Selain itu, fintech P2P lending juga dapat menjalin kerja sama dengan perbankan yang memiliki cabang di daerah. Atau secara khusus, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di daerah dapat membantu fintech P2P lending dalam hal penagihan/collection.

Selain itu, perbankan juga dapat ikut serta dalam hal pemberian pinjaman melalui co-financing. Artinya, perbankan di daerah dapat memberikan sejumlah dana untuk menutupi kekurang dana yang telah dikumpulkan fintech lending untuk diberikan kepada borrower.

Teknologi yang dimiliki fintech lending juga dapat digunakan oleh perbankan-perbankan di daerah untuk melakukan credit scoring kepada calon nasabah. Yang terakhir, perbankan juga dapat menjadi institution lender bagi fintech P2P lending.

“Bisa jadi perbankan menjadi lembaga institusi yang ikut memberikan pinjaman melalui fintech lending karena prinsip yang di anutnya siapapun boleh menjadi lender,” tambahnya.

Ilustrasi FinTech
Ilustrasi Fintech Ilegal. / Istimewa

Pendirian Fintech Lending

Hendrikus menegaskan siapun pun boleh mendirikin fintech lending sepanjang memenuhi ketentuan POJK 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Aturan ini tak terkecuali untuk perbankan konvensional.

“Jadi kalau misalnya ada suatu perbankan, holding-nya misal ikut mendirikan fintech lending, ya sah-sah saja karena memang tidak ada larangan untuk itu,” tegasnya.

Biasanya, lanjut Hendrikus, fintech lending yang didirikan suatu perusahaan induk digunakan untuk membangun ekosistem ekonomi digital tertutup. Hal ini digukanan sebagai mitigasi risiko di perusahaan tersebut.

“Misalnya dalam ekosistem ekonomi digital yang tertutup, maka dia hanya dapat memberikan pinjaman kepada siapapun selama yang menerima pinjaman itu merupakan anggota dari ekosistemnya,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Adrian Gunadi memberikan pemaparan saat menjadi narasumber pada Seminar Nasional Daring kerjasama KADIN Indonesia dan AFPI di Jakarta, Kamis, 3 September 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Kolaborasi Adalah Kunci

Pengamat Perbankan dari Indonesia Banking School (IBS), Batara Simatupang turut mengomentari fenomena ini. Ia berpandangan bahwa produk fintech P2P lending yang menjamur merupakan replika produk perbankan konvensional.

Kendati begitu, ia tak memungkiri bahwa kecepatan pinjol dalam berekspansi lebih agresif. Pasalnya, aturan yang ditetapkan OJK kepada fintech P2P lending tidak seketat perbankan.

“Kalau playing field-nya sama dengan perbankan, maka fintech lending juga susah berkembang,” tulis Batara melalui pesan singkat.

Ia melihat, ke depannya sistem keuangan akan menjadi serba digital baik secara global maupun nasional. Oleh karena itu, perbankan besar akan mengutilisasi teknologi mereka dalam  menahan gempuran fintech  P2P lending.

“Karena kelonggaran yang ada pada fintech P2P lending sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi investor,” ucapnya.

Bagi bank-bank besar, lanjut Batara, akan sangat mudah melakukan switching teknologi digital dalam meraup nasabah dengan membuatnya menjadi bank digital. Atau, sangat bisa jadi perbankan melakukan aliansi dengan startup company dalam penyelenggaraan pinjol. Hal ini memang telah terjadi dalam beberapa kesempatan yang lalu.

Ia bilang, pertimbuhan pinjol saat ini sangat fantastis dan tak dapat dipungkiri. Hal ini terlihat dari pertumbuhannya yang berada diatas 100%. Dengan begitu, tren pinjol adalah bagian pangsa pasar yang sangat besar. Mengingat, masih banyak nasabah yang belum tersentuh oleh jasa perbankan.

“Masing masing akan mencoba menyesuaikan. Kata kuncinya adalah kolaborasi, karena bagaimanapun rekening penampungan pinjol semuanya ada di bank. Jadi tanpa kolaborasi susah juga buat fintech bermanuver,” tegasnya. (SKO)