Perang Teknologi AS dan China Makin Memanas
- Perang teknologi dan keamanan antara China dan Amerika Serikat (AS) semakin memanas.
Tekno
BEIJING - Perang teknologi dan keamanan antara China dan Amerika Serikat (AS) semakin memanas. Baru-baru ini, China menyerukan kepada pengguna peralatan komputer yang dianggap sensitif untuk berhenti membeli produk dari pembuat chip memori terbesar AS, Micron Technology Inc.
Pemerintah China mengatakan bahwa produk-produk Micron memiliki risiko keamanan jaringan serius yang tidak ditentukan yang menimbulkan bahaya bagi infrastruktur informasi China. Selain itu, Administrasi Ruang Maya China mengatakan juga menganggap hal tersebut akan memengaruhi keamanan nasional.
"Operator infrastruktur informasi penting di China harus berhenti membeli produk dari Micron Co," kata agensi tersebut sebagaimana dikutip TrenAsia.com dari Insider Senin, 22 Mei 2023.
Terkait perang teknologi terhadap China, AS dan sekutunya yakni Eropa dan Jepang mengurangi akses China ke pembuatan chip canggih dan teknologi lain yang mereka katakan dapat digunakan dalam senjata. Ini dilakukan pada saat pemerintah Presiden Xi Jinping mengancam akan menyerang Taiwan dan semakin tegas terhadap Jepang dan tetangga lainnya.
Pejabat China telah memperingatkan konsekuensi yang tidak ditentukan. Namun, China tampaknya berjuang untuk menemukan cara untuk membalas tanpa merugikan produsen ponsel pintar China dan industri lain serta upaya untuk mengembangkan pemasok chip prosesornya sendiri.
Tinjauan resmi mengenai Micron berada di bawah undang-undang keamanan informasi China yang semakin ketat diumumkan pada 4 April. Pengumuman peninjauan dilakukan beberapa jam setelah Jepang bergabung dengan Washington dalam memberlakukan pembatasan akses China ke teknologi untuk membuat chip prosesor dengan alasan keamanan.
Penggerebekan Perusahaan Asing
Sebagai catatan, sejumlah perusahaan asing di China telah digrebek oleh Polisi. Di antaranya adalah dua perusahaan konsultan, Bain & Co. dan Capvision serta sebuah perusahaan uji tuntas, Mintz Group.
Pihak berwenang China menolak menjelaskan penggerebekan itu. Namun, pihak berwenang mengatakan perusahaan asing wajib mematuhi hukum.
Di sisi lain, grup bisnis dan pemerintah AS telah mengimbau pihak berwenang untuk menjelaskan pembatasan hukum yang baru diperluas pada informasi dan bagaimana mereka akan ditegakkan.
"China dengan tegas mempromosikan keterbukaan tingkat tinggi ke dunia luar dan, selama mematuhi hukum dan peraturan China, menyambut perusahaan dan berbagai produk dan layanan platform dari berbagai negara untuk memasuki pasar China," kata Administrasi Ruang Maya China.
Pengembangan Chip
Sebagai informasi, Xi menuduh Washington pada Maret lalu berusaha memblokir pembangunan China. Karenanya, ia meminta masyarakat untuk berani melawan.
Meskipun telah mendapat tekanan dari AS, Beijing lambat membalas. Ada asumsi bahwa telatnya respons dilakukan untuk menghindari gangguan industri China yang merakit sebagian besar ponsel pintar, komputer tablet, dan elektronik konsumen lainnya di dunia.
Menurut data, China mengimpor chip asing senilai lebih dari US$300 miliar atau Rp4,47 Kuadriliun (kurs Rp14.900 per dolar AS) setiap tahunnya.
Sebagai tanggapan atas tekanan yang dilakukan, Beijing juga disebut menggelontorkan miliaran dolar untuk mencoba mempercepat pengembangan chip dan mengurangi kebutuhan akan teknologi asing.
Saat ini pabrikan China dapat memasok chip kelas bawah yang digunakan dalam otomotif dan peralatan rumah tangga. Namun, chip ini tidak dapat mendukung ponsel cerdas, kecerdasan buatan, dan aplikasi canggih lainnya.
Sebagai catatan, perang teknologi Antara China dan sekutu AS dikatakan telah memicu peringatan bahwa dunia mungkin terpisah atau terpecah menjadi bidang terpisah dengan standar teknologi yang tidak kompatibel. Artinya, ada kemungkinan bahwa ke depannya, komputer, telepon pintar, dan produk lain dari satu wilayah tidak akan berfungsi di wilayah lain. Itu akan menaikkan biaya dan mungkin memperlambat inovasi.
Hubungan AS-China sendiri berada pada level terendah dalam beberapa dekade. Adapun faktor penyebabnya antara lain terkait perselisihan keamanan, perlakuan Beijing terhadap Hong Kong dan etnis minoritas Muslim, perselisihan teritorial, dan surplus perdagangan China yang bernilai miliaran dolar.