Perang Yom Kippur
Dunia

Perang Yom Kippur, Konflik Berdarah yang Mengubah Sejarah Timur Tengah

  • Menurut profesor di American University School of International Studies, Boaz Atzili, pelajaran utama yang bisa dipetik oleh Mesir dan Israel dari perang ini adalah bahwa perang di antara mereka berdampak merugikan baik secara ekonomi maupun kemanusiaan, sehingga sebaiknya tidak diulangi.

Dunia

Distika Safara Setianda

JAKARTA - Serangan gerilyawan kelompok Hamas pada Sabtu, 7 Oktober 2023 berhasil membuat pertahanan Israel “kebobolan”. Serangan tersebut menjadi pertempuran dahsyat antara Israel dan Palestina sejak sejak Perang Yom Kippur 1973.

Dalam insiden tersebut, Hamas menyerang pemukiman Yahudi dan menewaskan lebih dari 200 korban jiwa, di antaranya warga sipil. Selain itu, mereka menyandera sejumlah individu yang menurut komandan Hamas memiliki nilai tukar yang cukup untuk membebaskan seluruh warga Palestina yang ditahan di penjara Israel.

Israel kemudian balas menghantam wilayah Gaza pada hari Minggu, 8 Oktober 2023, mengakibatkan kematian ratusan orang sebagai pembalasan atas serangan paling berdarah yang pernah terjadi dalam sejarahnya. Akibatnya, lebih dari 230 warga Palestina tewas dan ribuan orang lainnya mengalami luka.

Insiden berdarah ini membuat publik kembali mengingat Perang Yom Kippur yang melibatkan negara-negara Arab dengan Israel. Berikut beberapa fakta mengenai Perang Yom Kippur.

Yom Kippur

Yom Kippur, atau Hari Pendamaian, merupakan hari yang paling suci dalam tradisi agama Yudaisme. Selama satu hari penuh, orang-orang Yahudi merenungkan dosa atau kesalahan yang terjadi selama tahun sebelumnya. 

Banyak dari mereka akan menghadiri upacara ibadah di sinagoga atau tempat ibadah lainnya, memanjatkan doa-doanya yang khusus, dan menyanyikan lagu-lagu yang memiliki makna mendalam.

Lalu, Apa itu Perang Yom Kippur?

Perang Yom Kippur, juga dikenal sebagai Perang Oktober, Perang Ramadan, Perang Arab-Israeli Oktober 1973, atau Perang Arab-Israeli Keempat, adalah konflik keempat dalam rangkaian perang Arab-Israeli yang dimulai oleh Mesir dan Suriah pada tanggal 6 Oktober 1973, bertepatan dengan hari suci Yahudi Yom Kippur.

Dilansir dari Britannica, pada Senin, 9 Oktober 2023, perang ini juga terjadi selama bulan Ramadan, bulan suci puasa dalam Islam, dan berlangsung hingga tanggal 26 Oktober 1973. 

Perang ini, yang pada akhirnya melibatkan Amerika Serikat maupun Uni Soviet dalam konfrontasi tidak langsung demi mendukung sekutu masing-masing, dimulai dengan tujuan diplomatis untuk meyakinkan Israel, yang meskipun belum terkalahkan, untuk bernegosiasi dengan syarat-syarat yang lebih menguntungkan bagi negara-negara Arab.

Setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967, konflik Arab-Israel sebelumnya, di mana Israel berhasil menaklukkan dan menduduki wilayah-wilayah Arab termasuk Semenanjung Sinai dan Dataran Tinggi Golan, diikuti oleh beberapa tahun pertempuran sporadis.

Anwar Sadat, yang kemudian menjadi presiden Mesir tidak lama setelah Perang Penarikan (1969–1970) berakhir, mencoba mencapai penyelesaian damai dengan syarat bahwa Israel akan mengembalikan wilayah yang telah mereka rebut sesuai dengan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa nomor 242. 

Israel menolak syarat-syarat tersebut, dan pertempuran akhirnya berkembang menjadi perang penuh skala pada tahun 1973. Pada sore hari tanggal 6 Oktober, Mesir dan Suriah menyerang Israel secara bersamaan di dua front. 

Dengan keuntungan kejutan, pasukan Mesir berhasil menyeberangi Terusan Suez dengan lebih mudah dari yang diharapkan, menderita hanya sebagian kecil korban yang diantisipasi. Sementara pasukan Suriah berhasil melancarkan serangan mereka terhadap posisi Israel dan berhasil menembus hingga ke Dataran Tinggi Golan.

Intensitas serangan Mesir dan Suriah, yang sangat berbeda dengan situasi tahun 1967, dengan cepat mulai menguras stok amunisi cadangan Israel. Perdana Menteri Israel Golda Meir meminta bantuan dari Amerika Serikat, sementara staf jenderal Israel dengan cepat mengimprovisasi strategi pertempuran.

Ketidaksetujuan Amerika Serikat untuk membantu Israel berubah dengan cepat ketika Uni Soviet memulai upaya pengiriman ulang pasokan ke Mesir dan Suriah. Presiden AS Richard Nixon merespons dengan membentuk jalur pasokan darurat ke Israel, meskipun negara-negara Arab memberlakukan embargo minyak yang mahal dan beberapa sekutu Amerika Serikat menolak memfasilitasi pengiriman senjata.

Alami Kerugian Besar

Semua negara yang terlibat dalam konflik ini mengalami kerugian. Meskipun berhasil memperoleh lebih banyak wilayah, Israel mendapat kritik karena kurangnya persiapan sebelum serangan dan mengalami banyak korban jiwa.

Menurut profesor di American University School of International Studies, Boaz Atzili, pelajaran utama yang bisa dipetik oleh Mesir dan Israel dari perang ini adalah bahwa perang di antara mereka berdampak merugikan baik secara ekonomi maupun kemanusiaan, sehingga sebaiknya tidak diulangi.

Hal ini diungkapkan dalam publikasi universitasnya saat memperingati 50 tahun perang tersebut. Atzili juga mencatat bahwa ini akhirnya mendorong Israel untuk mencapai kesepakatan untuk mengembalikan wilayah Sinai kepada Mesir.

Setelah peristiwa tersebut, Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, memulai upaya diplomatik yang menghasilkan perjanjian perdamaian antara Israel dan Mesir.

Memakan Puluhan Ribu Korban

Puluhan ribu nyawa hilang selama konflik ini. Sebanyak 2.688 tentara Israel tewas dan 7.000 lainnya mengalami luka-luka, dengan 314 di antaranya menjadi tawanan perang dan puluhan tentara Israel lainnya tidak dapat ditemukan. Israel juga kehilangan 102 pesawat tempur dan hampir 800 tank.

Sementara itu, di pihak Mesir dan Suriah, terdapat 35.000 tentara yang tewas dan lebih dari 15.000 yang cedera. Sebanyak 8.300 tentara juga menjadi tawanan. Angkatan Udara Mesir mengalami kerugian sebanyak 235 pesawat tempur, sementara Suriah kehilangan 135 pesawat tempur.