Ilustrasi utang negara / TrenAsia-Deva Satria
Makroekonomi

Perbandingan Warisan Utang Presiden RI Sejak Zaman Bung Karno

  • Prabowo akan mewarisi utang luar negeri indonesia sebesar US$405,7 miliar atau sekitar Rp6.605 triliun dari Presiden Joko Widodo.

Makroekonomi

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia saat ini menunjukkan penurunan pada awal tahun 2024.  Data terbaru menunjukkan bahwa posisi ULN Indonesia turun dari US$408,1 miliar pada Desember 2023 atau sekitar Rp6.648 triliun (kurs Rp16.290 per USD) menjadi US$405,7 miliar atau sekitar Rp6.605 triliun pada Januari 2024.

Fokus penggunaan ULN pemerintahan presiden Jokowi di akhir kepemimpinannya tetap diarahkan pada sektor-sektor vital seperti kesehatan, pendidikan, konstruksi, dan jasa keuangan. 

ULN memiliki peran penting dalam mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Dengan menjaga struktur ULN yang sehat, risiko terhadap stabilitas perekonomian dapat diminimalisir. 

Posisi ULN tersebut menjadi warisan kepemimpinan Joko Widodo yang akan dilanjutkan oleh Prabowo Subianto.  Artinya Prabowo nanti akan mewarisi utang luar negeri indonesia sebesar US$405,7 miliar atau sekitar Rp6.605 triliun.

Prabowo mewarisi utang yang cukup besar dan diharapkan untuk melanjutkan kebijakan pembangunan dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi dan pengelolaan utang yang hati-hati.

Bila dibandingkan dengan kepemimpinan presiden di masa lain, berikut perbandingannya:

Soekarno (1945-1967)

Pada masa Soekarno, utang luar negeri Indonesia mulai menumpuk terutama setelah konfrontasi dengan Malaysia dan kebijakan ekonomi yang banyak bergantung pada bantuan luar negeri. 

Namun, data spesifik mengenai jumlah utang luar negeri pada masa ini tidak banyak terdokumentasi dengan baik. Banyak kalangan dan lembaga mengungkap Soekarno meninggalkan utang sebesar US$2,4 miliar atau sekitar Rp39 triliun kurs saat ini.

Soeharto (1967-1998)

Pada masa Soeharto, utang luar negeri meningkat pesat. Di awal pemerintahannya, utang luar negeri Indonesia relatif kecil, namun pada akhir masa jabatannya, utang luar negeri Indonesia mencapai sekitar US$ 150 miliar atau sekitar Rp2.443 triliun 

Sebagian besar utang ini digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan proyek-proyek besar lainnya, tetapi juga menimbulkan beban berat pada perekonomian.

B.J. Habibie (1998-1999)

B.J. Habibie memimpin selama periode transisi yang singkat setelah jatuhnya Soeharto. Pada masa ini, utang luar negeri Indonesia tetap berada dikisaran US$ 150 miliar atau sekitar Rp2.443 triliun.

Habibie berfokus pada reformasi ekonomi dan pemulihan dari krisis ekonomi Asia yang melanda Indonesia pada 1997-1998.

Abdurrahman Wahid (1999-2001)

Selama masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, utang luar negeri Indonesia tetap tinggi, sekitar US$ 140-150 miliar atau sekitar  Rp2.280 triliun - Rp2.443 triliun 

Fokus pemerintahannya adalah pada stabilisasi politik dan ekonomi, serta pembenahan struktur utang.

Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

Pada masa Megawati, utang luar negeri Indonesia sedikit menurun tetapi masih berada pada kisaran US$ 130-140 miliar atau sekitar Rp2.117 -  Rp2.280 triliun

Pemerintahannya berupaya menstabilkan ekonomi dan melanjutkan program reformasi ekonomi.

Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

Pada masa pemerintahan SBY, utang luar negeri Indonesia bertambah dari sekitar US$132 miliar atau sekitar Rp2.150 pada awal pemerintahannya menjadi sekitar USD 250 miliar atau sekitar Rp4.072 pada akhir masa jabatannya. 

Meskipun utang meningkat, rasio utang terhadap PDB tetap terjaga. SBY fokus pada pembangunan infrastruktur dan peningkatan investasi asing.

Melalui perbandingan ini, terlihat bahwa setiap presiden memiliki tantangan dan strategi masing-masing dalam mengelola utang luar negeri.