Perbankan Ramai-Ramai Ekspansi Bisnis Paylater, Awas Ini Risikonya!
- Total outstanding kredit macet paylater meningkat signifikan 10,82% dari Mei ke Juni 2023
Fintech
JAKARTA - Beberapa waktu ke belakang, industri perbankan tampak mulai menaruh minat dan berbondong-bondong masuk ke bisnis paylater.
Akan tetapi, terlepas dari prospek bisnis paylater yang cukup positif, bukan berarti upaya perbankan untuk melebarkan sayap ke lini bisnis ini tidak luput dari risiko.
Menurut Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan, risiko yang paling utama dalam hal ini berkaitan dengan risiko kredit.
Pasalnya, walaupun minat terhadap paylater ini bertumbuh lebih pesat dibanding kredit perbankan, namun porsi pinjaman yang bermasalah pun patut untuk diperhatikan.
Kualitas Kredit Paylater
Per-Mei 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pengguna paylater mengalami pertumbuhan sebanyak 18,18 juta kontrak atau tumbuh 33,25% secara tahunan.
Namun, pada Juni 2023, PT Pefindo Biro Kredit (IdScore) mendapatkan temuan bahwa total outstanding kredit macet paylater meningkat signifikan 10,82% dari Mei ke Juni 2023 menjadi Rp2,15 triliun. Sementara itu, total outstanding paylater secara keseluruhan mencapai Rp25,16 triliun, meningkat 29,8% secara tahunan.
Sebelumnya, pada April 2023, OJK pun mencatat nonperforming loan (NPL) paylater sebesar 9,74%. Angka tersebut sudah melebihi batas aman yang ditetapkan OJK sebesar 5%.
Oleh karena risiko yang lebih tinggi inilah, Trioksa pun berpendapat bahwa risiko paling utama yang perlu dihadapi perbankan adalah berkaitan dengan kualitas kredit itu sendiri.
Selain itu, Trioksa pun menyebutkan risiko operasional yang perlu diperhatikan di samping potensi pinjaman bermasalah yang lebih tinggi pada segmen paylater dibanding skema kredit konvensional dari industri perbankan.
"Risikonya yang utama adalah risiko kredit serta risiko operasional, khususnya terkait sistem sehingga perlu dimitigasi dengan baik," papar Trioksa kepada TrenAsia, Jumat, 6 Oktober 2023.
- Batalnya Government Shutdown AS Tinggalkan Risiko Pendanaan Bagi Pasifik
- BTN Targetkan Subsidi KPR 180.000 Unit
- Cari Anting Hilang, Keluarga Ini Justru Menemukan Harta Karun Viking
Akan tetapi, walaupun merambahnya perbankan ke bisnis paylater turut diikuti oleh risiko yang menyertai, Trioksa tidak memungkiri bahwa ada keuntungan yang didapatkan industri dari diversifikasi ini.
"Keuntungannya adalah portfolio kredit ritel dengan bunga yang menarik dan dapat menambah pendapatan bank," kata Trioksa.
Pemain Bisnis Paylater
Terbaru, PT Bank Central Asia Tbk (BCA/BBCA) telah merilis layanan Paylater BCA yang menawarkan kemudahan pengajuan dan proses cepat dibandingkan kartu kredit.
Paylater BCA memberikan limit kredit hingga Rp 20 juta dengan mekanisme pembayaran yang dapat diputar (revolving) serta pilihan tenor cicilan 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, atau 12 bulan dengan suku bunga sampai 2% flat per bulan.
BCA juga sedang mengadakan promo khusus, termasuk bunga 0% hingga 31 Januari 2024 untuk cicilan 1 dan 3 bulan, serta promo bunga 1,25% hingga 31 Maret 2024 untuk cicilan 6 dan 12 bulan.
Proses pengajuan Paylater BCA dapat dilakukan melalui aplikasi myBCA, dan transaksi dapat dilakukan melalui pemindaian quick response code Indonesian standard (QRIS) di aplikasi tersebut.
Masuknya BCA ke bisnis paylater pun meramaikan ekspansi perbankan ke produk keuangan yang trennya cukup positif beberapa waktu ke belakang ini.
Sebelumnya, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) juga telah memperkenalkan fitur paylater dalam aplikasi Livin' by Mandiri. Fitur Livin' Paylater ini dapat digunakan untuk pembiayaan berbagai kebutuhan nasabah di berbagai merchant.
Limit Livin' Paylater ini dimulai dari Rp 100.000 hingga maksimal Rp 20 juta dengan tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, atau 12 bulan.
Kemudian, PT Bank BTPN Tbk pun pada akhir kuartal I-2023 telah merambah bisnis paylater melalui platform Jenius dengan menawarkan limit hingga Rp2,5 juta.
Lalu, ada juga PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) yang menawarkan layanan paylater dengan limit hingga Rp100 juta dengan tenor dari 1 bulan hingga 12 bulan.
PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) pun dikabarkan akan masuk ke bisnis serupa melalui platform digital banking OCTO Mobile.
Inisiasi BNGA untuk melebarkan sayap ke bisnis paylater didasari oleh target perseroan dalam menyasar kaum milenial, yang mana segmen tersebut memiliki minat yang cukup besar terhadap produk keuangan ini.
- Ada di Makam Firaun, Ini 7 Manfaat Biji Ketumbar Bagi Kesehatan
- Lagi Ramai di Medsos, Ini Cara Kerja Doxing yang Perlu Anda Waspadai!
- Tawarkan Privasi, KAI Siap Rilis Compartment Suites
Prospek Bisnis Paylater
Sebuah penelitian kolaboratif antara International Data Corporation (IDC) Asia/Pacific dan 2C2P yang dirilis pada November 2021 mengindikasikan bahwa Indonesia akan memainkan peran sentral dalam penggunaan dompet digital dan paylater di Asia Tenggara.
Riset bertajuk IDC InfoBrief: How Southeast Asia Buys and Pays, Driving New Business Value for Merchants tersebut merinci proyeksi pertumbuhan transaksi platform dagang elektronik di kawasan Asia Tenggara hingga mencapai US$179,8 miliar atau setara dengan Rp2,8 kuadriliun dalam asumsi kurs Rp15.600 per-dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2025.
Meskipun metode transaksi melalui kartu dan transfer bank masih mendominasi dengan nilai mencapai US$55,5 miliar, diperkirakan bahwa jenis pembayaran domestik akan mencapai US$50,5 miliar (Rp787,8 triliun), penggunaan dompet digital US$48,1 miliar (Rp750,36 triliun), dan paylater US$8,8 miliar (Rp137,28 triliun). Sementara itu, pembayaran tunai dan lainnya akan mencapai US$16,9 miliar (Rp263,64 triliun).
Riset ini pun mengungkapkan bahwa popularitas pembayaran digital akan beriringan dengan meningkatnya penggunaan platform dagang elektronik.
Indonesia juga disebut-sebut akan menjadi pasar terbesar untuk BNPL di Asia Tenggara pada 2025. Total belanja masyarakat dengan menggunakan paylater di e-commerce diproyeksikan meningkat hingga 8,7 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2020.
Proyeksi nilai transaksi BNPL di Indonesia pun diperkirakan mencapai US$5,15 miliar (Rp80,34 triliun) pada 2025, yang akan menyumbang sekitar 58% dari total US$8,83 miliar (Rp137,74 triliun) jika ditambahkan dengan transaksi di lima negara ASEAN lainnya.