Perbedaan antara Kredit Usaha Rakyat dan Mikro: Panduan untuk UMKM
- Meskipun keduanya ditujukan untuk membantu UMKM, ada beberapa perbedaan penting antara KUR dan KUM yang perlu dipahami oleh pelaku usaha.
Perbankan
JAKARTA - Keberadaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan perekonomian negara. Sayangnya, sebagian besar pelaku UMKM sering kali menghadapi masalah terkait permodalan yang terbatas, yang berpengaruh pada keterbatasan dalam meningkatkan produksi dan produktivitas mereka.
Untuk mengatasi kendala tersebut, pemerintah hadir dengan solusi melalui berbagai program pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Usaha Mikro (KUM). Meskipun keduanya ditujukan untuk membantu UMKM, ada beberapa perbedaan penting antara KUR dan KUM yang perlu dipahami oleh pelaku usaha.
- 6 Negara yang Pernah Bangkrut Karena Utang
- Pentingnya Kebijakan Bunga yang Seimbang untuk Keberlanjutan Fintech Lending
- Kinerja Semester I-2024 Memukau, MR DIY Mau IPO Rp4,7 Triliun
1. KUR Dikelola Bank BUMN, KUM Lebih Fleksibel
Perbedaan pertama antara KUR dan KUM terletak pada lembaga yang menjalankan program tersebut. KUR merupakan program pemerintah yang dikelola oleh bank-bank yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bank-bank ini ditunjuk langsung oleh Bank Indonesia (BI), yang bertanggung jawab atas kebijakan perbankan di Indonesia. Setiap tahun, pemerintah menargetkan realisasi KUR sebesar Rp20 triliun.
Sementara itu, KUM lebih fleksibel karena dapat disalurkan oleh berbagai lembaga keuangan, baik itu bank BUMN maupun bank swasta. Setiap bank pelaksana KUM memiliki kebijakan dan aturan yang berbeda terkait dengan produk ini, termasuk target realisasi kredit yang mereka tentukan sendiri.
2. Pemerintah Menjamin KUR, KUM Tidak
Pada KUR, pemerintah berperan sebagai penjamin melalui dua lembaga, yaitu PT Jamkrindo dan PT Askrindo. Kedua lembaga ini menjamin penyaluran KUR kepada pelaku UMKM yang telah memenuhi syarat. Dengan adanya jaminan ini, bank pelaksana KUR lebih memiliki keyakinan dalam menyalurkan dana, karena risiko gagal bayar sebagian besar ditanggung oleh pemerintah.
Sebaliknya, KUM bukan program pemerintah. Bank yang menyalurkan KUM bertanggung jawab penuh atas risiko penyaluran kredit. Oleh karena itu, dalam program KUM, tidak ada jaminan dari pemerintah, yang berarti segala risiko terkait dengan kredit macet sepenuhnya menjadi tanggung jawab bank pelaksana.
3. Plafon KUR Lebih Besar, KUM Lebih Fleksibel
Perbedaan lainnya adalah terkait dengan plafon kredit atau batas maksimal pinjaman yang dapat diberikan. KUR memiliki tiga skema plafon, yaitu:
- KUR Mikro: Kredit maksimal Rp20 juta.
- KUR Ritel: Kredit antara Rp20 juta hingga Rp500 juta.
- KUR Linkage: Kredit maksimal Rp2 miliar.
Tingkat suku bunga yang dikenakan pun berbeda untuk setiap skema. Untuk KUR Mikro, bunga maksimal yang dikenakan adalah 22% per tahun, untuk KUR Ritel 13% per tahun, dan KUR Linkage 14% per tahun.
Sedangkan untuk KUM, plafon kredit umumnya berkisar antara Rp5 juta hingga Rp100 juta, tergantung kebijakan masing-masing bank pelaksana. Biasanya, suku bunga KUM lebih tinggi dibandingkan dengan KUR, berkisar antara 12% hingga 24% per tahun, atau sekitar 1 hingga 2% per bulan.
4. KUR Bisa Tanpa Agunan, KUM Wajib Ada
Salah satu keunggulan KUR adalah kemampuannya untuk memberikan pinjaman tanpa agunan, meskipun pada prakteknya, bank pelaksana KUR sering kali meminta agunan dalam bentuk jaminan.
Bagi peminjam dengan plafon KUR hingga Rp5 juta, agunan berupa aset fisik tidak diwajibkan. Namun, jika plafon pinjaman lebih besar dari Rp20 juta, maka penyertaan agunan berupa BPKB kendaraan atau sertifikat tanah dan rumah menjadi kewajiban.
Di sisi lain, untuk KUM, penyertaan agunan fisik merupakan kewajiban, tanpa memandang besaran plafon kredit. Ini karena KUM tidak mendapat jaminan dari pemerintah, sehingga bank pelaksana perlu melindungi diri dari risiko kerugian.
5, KUR Lebih Fleksibel dalam Usia Usaha
Syarat pengajuan KUR dan KUM sedikit berbeda dalam hal usia usaha. Untuk mengajukan KUR, pelaku UMKM harus memiliki usaha yang sudah berjalan minimal 6 bulan, dan ini dapat dibuktikan dengan Surat Keterangan Usaha (SKU) yang diterbitkan oleh desa atau kelurahan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pelaku sudah layak meskipun belum sepenuhnya bankable.
Sebaliknya, untuk KUM, bank pelaksana mengharuskan pelaku UMKM memiliki usaha yang telah berjalan minimal 2 tahun. Surat Keterangan Usaha dari desa atau kelurahan juga diperlukan untuk membuktikan kelayakan usaha.
Selain itu, untuk pengajuan KUM dengan plafon lebih dari Rp50 juta, bank pelaksana akan meminta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai syarat administrasi. Sementara pada KUR, meskipun pengajuan kredit lebih besar, NPWP tidak diwajibkan.
- MEDC dan GOTO Pimpin LQ45 Pagi Ini
- Wuih! Agung Podomoro Raih Hampir Rp 2 T dari Jual Hotel Pullman
- Akuisisi SECP Rampung, TPIA Proyeksikan Lonjakan Pendapatan 5 Kali Lipat
6. Kelebihan dan Kekurangan: Menyesuaikan Kebutuhan
KUR dan KUM memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. KUR lebih menguntungkan bagi pelaku UMKM yang membutuhkan pinjaman dengan suku bunga yang lebih rendah dan tanpa jaminan, meskipun terkadang bank pelaksana tetap mensyaratkan adanya agunan. KUR juga lebih fleksibel dalam hal usia usaha yang baru berjalan 6 bulan.
Namun, batasan plafon pada KUR yang lebih besar menjadikannya pilihan tepat bagi UMKM yang membutuhkan dana lebih besar.
Sementara KUM memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha yang membutuhkan dana dengan jumlah lebih kecil dan lebih cocok untuk mereka yang telah menjalankan usaha lebih lama.
Namun, tingkat bunga yang lebih tinggi dan kewajiban untuk menyertakan agunan menjadi tantangan bagi pelaku usaha yang tidak memiliki aset fisik.
Kesimpulan
Dengan memahami perbedaan antara KUR dan KUM, pelaku UMKM dapat memilih jenis pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan dan kelayakan usahanya.
KUR lebih cocok bagi UMKM yang membutuhkan pinjaman dengan suku bunga rendah dan tanpa agunan, sedangkan KUM bisa menjadi pilihan untuk mereka yang telah menjalankan usaha lebih lama, meskipun dengan syarat agunan dan suku bunga yang lebih tinggi.
Dengan berbagai pilihan ini, pelaku UMKM diharapkan dapat memperoleh akses modal yang tepat untuk mengembangkan usaha mereka.