<p>Ilustrasi hacker. / Pixabay</p>
Fintech

Perbedaan Mekanisme Pencucian Uang Antara Fiat dan Kripto

  • Dengan merujuk kepada data Crypto Crime Report, Jokowi mengatakan bahwa jumlah pencucian melalui aset kripto bisa mencapai US$8,6 triliun atau setara dengan Rp140 kuadriliun dalam asumsi kurs Rp16.280 per-dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2022.

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan pentingnya kewaspadaan terkait dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang saat ini mulai melibatkan aset kripto dalam prosesnya. 

Dengan merujuk kepada data Crypto Crime Report, Jokowi mengatakan bahwa jumlah pencucian melalui aset kripto bisa mencapai US$8,6 triliun atau setara dengan Rp140 kuadriliun dalam asumsi kurs Rp16.280 per-dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2022. 

Pencucian uang melalui aset kripto merupakan metode yang kompleks dan canggih, seringkali digunakan oleh pelaku kejahatan untuk menyembunyikan asal-usul uang mereka. 

Berbeda dengan tindak pidana pencucian uang konvensional, penggunaan aset kripto menimbulkan tantangan tersendiri dalam pelacakan dan penelusuran. 

Dikutip dari jurnal Universitas Negeri Surabaya berjudul Analis Yuridis Penggunaan Cryptocurrency sebagai Sarana Tindak Pencucian Uang yang ditulis oleh Gayung Utamai dan Pudji Astuti, aset kripto yang bersifat virtual seperti Bitcoin memudahkan transaksi secara anonim dan dengan pseudonim, membuatnya sulit untuk dilacak. Dengan demikian, proses pelaporan dan audit trail menjadi lebih rumit.

Keunggulan dari mata uang virtual adalah kemampuannya dalam melakukan transfer dana secara instan tanpa melalui lembaga keuangan, serta sifatnya yang desentralisasi. 

Hal ini, ditambah dengan kerahasiaan yang dimilikinya, membuat sulit bagi pihak penegak hukum untuk mengikuti jejak uang ilegal yang beredar melalui internet.

Selain tantangan teknis, masalah lainnya adalah belum adanya regulasi yang spesifik mengenai tindak pidana pencucian uang dengan menggunakan mata uang virtual. 

Untuk lebih memahami perbedaan antara mekanisme TPPU melalui uang fiat dan aset kripto, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa dalam proses pencucian uang, ada tiga tahap utama yang perlu dilalui. 

Baca Juga: Aspakrindo Ungkap Strategi Cegah Aset Kripto untuk Pencucian Uang

Layering (Transfer)

Tahap pertama, yaitu Layering atau transfer, bertujuan untuk menyamarkan asal-usul kekayaan dengan mengalihkan dan memisahkannya dari sumber aslinya. 

Aset kripto sering menjadi pilihan utama dalam tahap ini karena sifatnya yang anonim dan otomatis. 

Transaksi aset kripto tidak memerlukan intervensi lembaga keuangan sentral, memungkinkan pelaku kejahatan untuk mentransfer dan memisahkan aset dengan mudah tanpa terdeteksi oleh sistem konvensional.

Selain itu, belum adanya regulasi yang jelas mengenai penggunaan aset kripto sebagai alat pencucian uang membuat penegakan hukum menjadi sulit. 

Aparat penegak hukum perlu meningkatkan pemahaman mereka tentang teknologi blockchain dan aset kripto serta meningkatkan infrastruktur internet untuk mengatasi tantangan ini.

Infrastruktur internet yang semakin luas di Indonesia juga menjadi peluang bagi pelaku pencucian uang untuk lebih mudah mengakses dan mengelola aset kripto mereka tanpa terdeteksi. Oleh karena itu, perlu ada upaya yang lebih intensif dalam edukasi dan regulasi untuk mengatasi masalah pencucian uang yang melibatkan aset kripto.

Perbedaan mendasar dalam mekanisme TPPU antara aset kripto dan uang tunai sangat signifikan. Pada penggunaan uang tunai, transaksi biasanya melibatkan transfer antar bank, baik itu bank lokal maupun internasional. Dalam konteks ini, yang menjadi objek transaksi tetap berupa uang.

Sementara itu, dalam transaksi dengan aset kripto seperti Bitcoin, prosesnya justru berkebalikan. Uang tunai pertama-tama ditukar menjadi aset kripto untuk mengubah bentuk dan menyamarkan jejak transaksinya. Hal ini menyebabkan aset kripto menjadi sulit dilacak atau terdeteksi keberadaannya.

Baca Juga: Melirik Potensi Bitcoin di Tengah Panasnya Konflik Timur Tengah

Placement (Penempatan)

Tahap kedua adalah Placement atau penempatan, di mana kekayaan hasil pencucian uang disisipkan ke dalam sistem keuangan konvensional melalui bank atau lembaga keuangan lainnya. 

Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur bahwa transaksi keuangan tertentu harus dilaporkan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Namun, undang-undang ini belum secara spesifik mengatasi transaksi dengan aset kripto. Meskipun ada frasa yang mengacu pada penyelenggara e-money atau e-wallet, keduanya berbeda dengan aset kripto yang bersifat virtual dan tidak berbentuk fisik.

Dengan demikian, pada tahap placement ini, aktivitas pelaku TPPU akan lebih sulit dilacak karena uang yang bersangkutan tidak disimpang dalam sistem keuangan konvensional yang diawasi oleh PPATK karena aset kripto sendiri disimpan dalam jaringan blockchain yang terdesentralisasi dan memungkinkan transaksi secara anonim.

Integration (Penggunaan Harta Kekayaan)

Tahap ketiga adalah Integration atau penggunaan harta kekayaan, di mana aset hasil pencucian uang dimasukkan ke dalam kegiatan ekonomi yang sah untuk menyamarkan asal-usulnya. 

Ini bisa dilakukan dengan membeli aset fisik seperti properti atau dengan menginvestasikannya ke dalam bisnis.

Metode pencucian uang bisa dilakukan dengan membuat bisnis atau membeli properti dengan nama samaran, penggunaan identitas palsu untuk transaksi keuangan, pengiriman dana ke luar negeri, dan bahkan penciptaan utang palsu. 

Semua ini bertujuan untuk menyamarkan jejak dan menyulitkan aparat penegak hukum dalam melacak asal-usul uang.

Akan tetapi, untuk pencucian uang melalui aset kripto, pelaku tidak perlu menyamarkan kekayaan melalui investasi di properti atau bisnis, melainkan bisa berinvestasi di aset kripto itu sendiri karena transaksi yang terjadi secara anonim itu sudah akan membuat aparat hukum kesulitan untuk melakukan pelacakan.