<p>Kota ini akan memiliki beberapa taman dan plaza pusat besar untuk pertemuan sosial. Bangunan kota sebagian besar akan terbuat dari kayu untuk meminimalkan jejak karbon.</p>
Industri

Perdagangan Karbon Indonesia Tembus Rp8.000 Triliun, Ini yang Harus Dilakukan

  • Nilai perdagangan karbon Indonesia diperkirakan mencapai US$565,9 miliar setara Rp8.000 triliun. Nilai ekonomi karbon ini sangat penting untuk mendorong investasi hijau.
Industri
Daniel Deha

Daniel Deha

Author

JAKARTA - Nilai perdagangan karbon Indonesia diperkirakan mencapai US$565,9 miliar setara Rp8.000 triliun. Nilai ekonomi karbon ini sangat penting untuk mendorong investasi hijau atau green econony guna meningkatkan biaya perubahan iklim.

Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) MPR RI Jon Erizal mengatakan potensi perdagangan karbon yang fantastis tersebut sudah seharusnya menjadi atensi pemerintah dalam mendorong penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

"Pemerintah dapat melakukan usaha-usaha signifikan dan merencanakan transisi ke ekonomi hijau dan terbarukan dengan cara meningkatkan inovasi dan implementasi teknologi," ujarnya dalam diskusi publik secara virtual, Senin, 15 November 2021.

Menurut catatan Jon, Indonesia memiliki hutan tropis ketiga di dunia dengan luas area 125,9 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon 25,18 miliar ton.

Luas area hutan mangrove Indonesia mencapai 3,31 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sekira 950 ton karbon per hektar atau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove.

Di sisi lain, Indonesia juga memiliki lahan gambut terluas di dunia sebesar 7,5 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon mencapai 55 miliar ton. Menurut dia, total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton.

"Jika pemerintah dapat menjual kredit karbon seharga US$5 di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia mencapai US$565,9 miliar atau Rp8.000 triliun," katanya.

Jon berharap dengan potensi yang ada, pemerintah perlu melakukan upaya penguatan kebijakan pengendalian perubahan iklim dengan mempertimbangkan proses pemulihan ekonomi ke depan.

"Penguatan kebijakan pengendalian perubahan iklim yang dilakukan melalui forum-forum internasional untuk memperoleh pengetahuan dan praktik kebijakan yang relevan bagi Indonesia," imbuhnya.

Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan lanjutan dengan  Menteri Luar Negeri Inggris Elizabeth Truss, sebagai tindak lanjut pembicaraan dengan Perdana Menteri Boris Johnson di Glasgow, Skotlandia, pada awal November.

Salah satu poin kunci dari tiga tema pembahasan kedua pemimpin adalah kerja sama antara London Stock Exchange (LSE) dengan Indonesia Stock Exchange (IDX) atau Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam pembentukan pertukaran pasar karbon (carbon market exchange).

Indonesia sebenarnya telah mulai terlibat aktif dalam kegiatan perdagangan karbon sejak tahun 2005 ketika dibentuk Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih.

Pasar karbon bekerja untuk menghambat laju penumpukan gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi yang dapat menyebabkan pemanasan global.

Sejak Paris Agreement 2015, Indonesia bertekad menurunkan emisi GRK nasional di tahun 2030 lebih rendah 29% dari tingkat emisi tanpa upaya mitigasi. Dengan bantuan internasional, kontribusi tersebut dapat ditingkatkan sampai dengan 41%.

Namun, tantangannya adalah pengembangan model pembiayaan untuk implementasi penurunan emisi ini belum kuat. Salah satu dari model pembiayaan yang sekarang lazim yaitu melalui perdagangan hak atas emisi GRK dalam pasar karbon.

Baru-baru ini, ketika berbicara di hadapan pemimpin dunia di KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26), Jokowi meminta dukungan pendanaan internasional hingga Rp1.400 triliun dalam upaya meningkatkan efisiensi penurunan emisi karbon nol bersih pada 2060.

Tahun depan, Jokowi akan mulai mengimplementasikan pajak karbon, sebagai yang pertama dalam sejarah Indonesia, dengan sasaran utamanya adalah pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU). Energi listrik berbasis fosil ini dinilai sangat tinggi menyumbang emisi karbon dengan estimasi 218 juta ton CO2 per tahun.

Nilai pajak karbon yang ditetapakan Jokowi sebagai diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) adalah Rp30 per kilogram ekuivalen karbondioksida (kCO2e) atau sekitar Rp30.000 per ton CO2e.

Namun sampai saat ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani belum menetapkan besaran target pendapatan dari pajak karbon. Padahal akan segera diberlakukan mulai Januari 2022.

Menurut data yang dirilis Institute for Development of Economics and Finance (Indef) belum lama ini, estimasi emisi karbon pada tahun 2020 mencapai 425.524.727 ton CO2e. Rinciannya, emisi pembangkit listrik sebesar 218.044.000 ton, industri 141.781.000 ton, dan transportasi 65.699.000 ton.

Adapun estimasi emisi GRK dari sektor pembangkit listrik sebesar 218 juta ton CO2e yang diharapkan turun hingga 29% pada 2030.

Sektor Transportasi

Seiring dengan penurunan di sektor pembangkit listrik, pemerintah bermaksud menurunkan emisi karbon di sektor transportasi melalui penggunaan kendaraan listrik.

Rencana tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, target penurunan emisi karbon dari kendaraan listrik ditaksir sebesar 1,4 juta pada 2035.

"Diharapkan konsumsi BBM dapat berkurang sebesar 3 juta barrel serta menurunkan emisi CO2 sebanyak 1,4 juta ton," ungkap Agus dalam Gaikindo International Automotive Conference, Rabu, 17 November 2021.

Kendati demikian, target penurunan emisi masih sangat kecil dibandingkan dengan estimasi emisi karbon dari sektor transportasi yang menyumbang 65 juta ton per tahun.

Untuk mengejar target 29% pada 2030, pemerintah menargetkan produksi electric vehicle (EV) atau mobil listrik mencapai 400 ribu unit mulai 2025, 600 ribu unit per tahun pada 2030, kemudian 1 juta unit per tahun pada 2035.

Sementara, target produksi sepeda motor listrik sebanyak 1,76 juta unit per tahun mulai 2025, lalu 2,45 juta unit mulai 2030, kemudian 3,22 juta unit per tahun mulai 2035. 

Penurunan emisi karbon pada 2035 untuk masing-masing kendaraan listrik ditargetkan sebesar 4,6 juta ton Co2 dan 1,4 juta ton CO2.*