Aktifitas karyawan Protego, sebuah aplikasi keamanan selular  di Jakarta, 29 Juni 2022. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Industri

Perilaku Manajerial: Mengenal Para Pekerja Sesuai Upah Atau Quiet Quitter

  • Data menunjukkan bahwa dewasa ini banyak generasi Y (millennial) dan Z yang enggan untuk bekerja lebih keras dan lebih kreatif.

Industri

Yosi Winosa

JAKARTA -Quiet quitter adalah sebuah istilah baru untuk perilaku lama. Selama beberapa dekade terakhir, banyak penelitian berupaya mencari jawaban apakah suatu lingkungan kerja adalah tempat di mana orang ingin bekerja lebih keras? Atau apakah manajer mampu untuk membangun hubungan dengan karyawannya  di mana karyawan tidak menghitung menit sampai jam kerja berakhir. Data menunjukkan bahwa dewasa ini banyak generasi Y (millennial) dan Z yang enggan untuk bekerja lebih keras dan lebih kreatif. 

Jack Zenger dan Joseph Folkman, para peneliti dari Perusahaan Konsultan Pengembangan Kepemimpinan, Zenger/ Folkman, mencoba membedah fenomena ini lewat survey penilaian kepada 2.801 manajer. Para manajer ini dinilai oleh 13.048 bawahan langsung. Pertanyaannya sederhana, apakah para quiet quitter merupakan kesalahan atasan yang buruk? Atau memang quiet quitter adalah karyawan yang buruk?

Setiap karyawan membuat keputusan di setiap hari kerjanya: Apakah hanya bersedia melakukan pekerjaan minimum yang diperlukan untuk mempertahankan pekerjaannya? Atau apakah bersedia mencurahkan lebih banyak energi dan usaha mereka ke dalam pekerjaannya? Dan apakah yang menjadi pembeda antara pekerja yang memandang pekerjaan sebagai penjara 24 jam penuh dan pekerja yang merasa bahwa pekerjaannya memberi makna dan tujuan?

“Dalam beberapa tahun terakhir, banyak dari karyawan yang memilih posisi pertama dan telah mengidentifikasi dirinya sebagai quiet quitter.  Pekerja tipe ini menolak gagasan bahwa pekerjaan harus menjadi fokus utama dalam hidupnya dan menolak harapan untuk memberikan segalanya atau bekerja lebih,” kata mereka di laman Harvard Business Review dikutip Rabu, 7 September 2022.

Data Zenger dan Folkman menunjukkan bahwa quiet quitter biasanya bukan tentang kesediaan karyawan untuk bekerja lebih keras dan lebih kreatif, namun lebih terkait tentang kemampuan manajer untuk membangun hubungan dengan karyawannya agar  tidak menghitung menit sampai jam kerja berakhir.

Apa yang Ditampilkan oleh Data

Zenger dan Folkman melihat data 2.801 manajer yang dikumpulkan sejak tahun 2020. Para manajer dinilai oleh 13.048 bawahan langsung. Rata-rata, setiap manajer dinilai oleh lima bawahan langsung untuk membandingkan dua poin data:

  • Peringkat sejauh mana manajer mampu "menyeimbangkan mendapatkan hasil dengan memperhatikan kebutuhan orang lain"
  • Peringkat sejauh mana "lingkungan kerja mereka" adalah tempat di mana orang ingin bekerja lebih keras”

Istilah penelitian yang kami berikan untuk mereka yang bersedia memberikan upaya lebih dalam pekerjaan adalah discretionary effort. Pengaruhnya pada organisasi bisa sangat besar: Jika Anda memiliki 10 bawahan langsung dan mereka masing-masing memberikan 10% upaya tambahan, hasil keseluruhan dari upaya tambahan tersebut adalah peningkatan produktivitas.

Zenger dan Folkman menemukan bahwa manajer yang paling tidak efektif memiliki tiga hingga empat kali lebih banyak orang yang termasuk dalam kategori quiet quitter dibandingkan dengan para pemimpin yang paling efektif. Para manajer ini memiliki 14% bawahan langsung yang termasuk kategori quiet quitter, dan hanya 20% yang bersedia memberikan usaha lebih. 

Tetapi manajer yang dinilai paling tinggi dalam menyeimbangkan hasil dengan hubungan memiliki 62% dari bawahan langsung mereka yang bersedia memberikan upaya lebih, sementara hanya 3% saja yang termasuk kategori quiet quitter. 

Banyak pekerja, pada titik tertentu dalam kariernya telah bekerja untuk seorang manajer yang ternyata mendorongnya untuk menjadi quiet quitter. Ini berasal dari perasaan diremehkan dan tidak dihargai. Bisa saja para manajer itu bias, atau terlibat dalam perilaku yang tidak pantas. Kurangnya motivasi karyawan merupakan reaksi atas tindakan manajer.

Sebagian besar karyawan di pertengahan karirnya juga bekerja untuk seorang pemimpin yang memiliki keinginan kuat untuk melakukan segala kemungkinan untuk mencapai tujuan dan sasaran. Kadang-kadang bekerja lembur atau memulai lebih awal tidak dibenci karena manajer ini menginspirasi karyawan.

Apa yang Harus Dilakukan Jika Anda Mengelola  Para Quiet Quitter

Misalkan Anda memiliki banyak karyawan yang Anda yakini akan menjadi quiet quitter. Dalam hal ini, pertanyaan yang patut untuk ditanyakan kepada diri sendiri adalah: Apakah ini masalah dengan bawahan langsung saya, atau apakah ini masalah dengan saya dan kemampuan kepemimpinan saya?

Jika Anda yakin dengan kemampuan kepemimpinan Anda dan hanya satu dari bawahan langsung Anda yang tidak termotivasi, itu mungkin bukan kesalahan Anda. Seperti yang ditunjukkan data di atas, 3% atau 4% dari manajer terbaik memiliki bawahan langsung kategori quiet quitter.

Apa pun itu, perhatikan baik-baik pendekatan Anda untuk mendapatkan hasil dengan anggota tim Anda. Ketika meminta bawahan langsung Anda untuk meningkatkan produktivitas, apakah Anda berusaha keras untuk memastikan bahwa anggota tim merasa dihargai? Dialog yang terbuka dan jujur ​​dengan rekan kerja tentang harapan yang dimiliki masing-masing pihak terhadap pihak lain sangat membantu.

Faktor terpenting adalah kepercayaan. Ketika Zenger dan Folkman menganalisis data lebih dari 113.000 pemimpin untuk menemukan perilaku teratas yang membantu para pemimpin efektif menyeimbangkan hasil dengan kepedulian mereka terhadap anggota tim, perilaku nomor satu yang membantu adalah kepercayaan. 

Ketika bawahan langsung memercayai pemimpinnya, karyawan juga berasumsi bahwa manajer peduli dengan karyawannya dan peduli dengan kesejahteraannya.

Penelitian Zenger dan Folkman telah menghubungkan kepercayaan dengan tiga elemen. Pertama, memiliki hubungan positif dengan semua bawahan langsung Anda. Ini berarti Anda berharap dapat terhubung dan menikmati berbicara dengan bawahan. Kepentingan bersama mengikat Anda bersama, sementara perbedaan merangsang.

Beberapa anggota tim memudahkan untuk memiliki hubungan yang positif. Lainnya lebih menantang. Hal ini sering kali merupakan akibat dari perbedaan (usia, jenis kelamin, etnis, atau orientasi politik). Cari dan temukan kesamaan dengan anggota tim ini untuk membangun rasa saling percaya.

Elemen kepercayaan yang kedua adalah konsistensi. Selain benar-benar jujur, para pemimpin perlu memenuhi apa yang mereka janjikan. Sebagian besar pemimpin merasa bahwa mereka lebih konsisten daripada yang dilihat orang lain.

Elemen ketiga yang membangun kepercayaan adalah keahlian. Apakah Anda tahu pekerjaan Anda dengan baik? Apakah Anda ketinggalan zaman pada setiap aspek pekerjaan Anda? Apakah orang lain mempercayai pendapat dan saran Anda? Pemimpin yang cakap dapat memberikan kejelasan, jalan ke depan, dan wawasan yang jelas untuk membangun kepercayaan.

Dengan membangun hubungan saling percaya dengan semua bawahan langsung Anda, kemungkinan bawahan menjadi quiet quitter menghilang secara signifikan. Pendekatan yang dilakukan para pemimpin untuk mendorong hasil dari karyawan di masa lalu bukanlah pendekatan yang tepat untuk digunakan saat ini. Kita sedang membangun tempat kerja yang lebih aman, lebih inklusif, dan positif, dan  terus melakukan yang lebih baik.

Sangat mudah untuk menyalahkan pekerja yang malas atau tidak termotivasi sebagai quiet quitter. Tetapi sebaliknya, penelitian ini memberi tahu kita untuk melihat ke dalam dan mengenali bahwa individu ingin memberikan energi, kreativitas, waktu, dan antusiasmenya kepada organisasi dan pemimpin yang pantas mendapatkannya.