Peringati Hari Anak Nasional, NU: Prevalensi Perokok Anak Masih Tinggi
Hasil studi PKJS-UI pada tahun 2018 juga menunjukkan anak-anak dari orang tua perokok kronis memiliki pertumbuhan berat badan secara rata-rata lebih rendah 1,5 kg dan pertumbuhan tinggi badan rata-rata lebih rendah 0,34 cm.
Nasional
JAKARTA – Masih dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional, salah satu pekerjaan rumah terbesar Indonesia jelang bonus demografi 2030 adalah tingginya angka prevalensi perokok anak.
Untuk itu, Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) bersama Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) merekomendasikan sejumlah kebijakan terkait pengendalian konsumi rokok terutama di segmen usia 18 tahun ke bawah.
Tidak hanya itu, pengendalian konsumsi tembakau rupanya berkaitan erat dengan upaya pengentasan stunting di Indonesia.
“Perilaku merokok menimbulkan pergeseran (shifting) konsumsi. Uang yang dapat dibelikan makanan digunakan untuk membeli rokok sehingga nutrisi tidak tercukupi dan akhirnya menimbulkan stunting pada anak,” kata Aryana Satrya dalam diskusi virtual, Senin, 27 Juli 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Merujuk data riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan (2018) menunjukkan angka perokok pada kelompok usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% (2018). Angka ini jauh dari target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2019 sebesar 5,4%.
Penyebab Stunting
Hasil studi PKJS-UI pada tahun 2018 juga menunjukkan anak-anak dari orang tua perokok kronis memiliki pertumbuhan berat badan secara rata-rata lebih rendah 1,5 kg dan pertumbuhan tinggi badan rata-rata lebih rendah 0,34 cm. Dampak kejadian stunting tersebut juga berpengaruh terhadap intelegensi anak.
“Pemerintah diharapakan dapat membuat harga rokok tersebut menjadi semakin tidak terjangkau,” kata dia.
Survei yang dilakukan oleh PKJS-UI pada tahun 2018 terhadap 1.000 responden memperlihatkan bahwa 88% responden mendukung kenaikan harga rokok agar anak-anak tidak membeli rokok.
Selain itu, selama pandemi COVID-19 anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Data Global Youth Tobacco Survey (2019) menunjukkan 57,8% pelajar terpapar asap rokok di rumah, serta 78,4% orang dewasa terpapar asap rokok orang lain di rumah.
“Beberapa perempuan anggota Fatayat NU sudah menjadikan rumah mereka kawasan tanpa rokok,” tutur Anggia Ermarini, MKM Ketua Umum Fatayat NU.
Untuk itu, Fatayat NU dan PKJS-UI memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Menaikkan cukai tembakau untuk tahun 2021 sesuai dengan pertimbangan yang tertulis dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan RI tahun 2020-2024.
2. Melarang penjualan rokok ketengan dan membuat peraturan pelarangan penjualan rokok terhadap anak usia di bawah 18 tahun.
3. Menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) secara merata di seluruh Kabupaten/Kota tanpa terkecuali oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
4. Memasukkan agenda promosi kesehatan mengenai penerapan KTR di rumah. Tentunya, yang tidak kalah pentingnya di era COVID-19 oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). (SKO)