Perjalanan Energi Surya Selama Pandemi
JAKARTA – Sebelum virus corona menyerang, Indonesia sudah menetapkan target porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional sebesar 23% pada 2025. Untuk mewujudkannya, pemeirntah masih membutuhkan penambahan kapasitas pembangkit EBT lebih dari 10 gigawatt (GW). Pertanyaannya, di tengah krisis saat ini, bagaimana laju bauran energi bersih nasional? Saat ini, konsumsi listrik turun […]
Nasional
JAKARTA – Sebelum virus corona menyerang, Indonesia sudah menetapkan target porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional sebesar 23% pada 2025.
Untuk mewujudkannya, pemeirntah masih membutuhkan penambahan kapasitas pembangkit EBT lebih dari 10 gigawatt (GW). Pertanyaannya, di tengah krisis saat ini, bagaimana laju bauran energi bersih nasional?
Saat ini, konsumsi listrik turun cukup signifikan. Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman Hutajulu menyampaikan, komitmen mengurangi porsi penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari batu bara tetap dipertahankan.
“Komitmen pemerintah tak bergeser. Meski rencana itu sangat tidak popular di tengah turunnya permintaan listrik,” katanya, dikutip dari Indonesia.go.id, Minggu, 29 November 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Data Kementerian ESDM menunjukkan, proporsi PLTU masih mendominasi kebutuhan energi saat ini, yakni hampir 65%. Kondisinya saat ini, energi berbasis surya baru termanfaatkan sekitar 10 MWp.
Padahal, potensi energi surya di Indonesia sangat besar, yakni sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp (gega watt peak). Sebab itu, peta jalan pemanfaatan energi surya mengamanatkan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terpasang hingga 2025 sebesar 0.87 GW atau sekitar 50 MWp/tahun.
Langkah Akselarasi
Ada dua opsi yang tengah dipertimbangkan pemerintah untuk mengurangi porsi PLTU. Pertama, mengganti PLTU tua yang sudah berusia 20-25 tahun dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Pembangunan PLTS didorong karena PLTS memiliki kelebihan, seperti less maintenance, pembangunan tidak membutuhkan waktu yang lama, dan harga dari PLTS semakin turun.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- Tandingi Telkomsel dan Indosat, Smartfren Segera Luncurkan Jaringan 5G
- Bangga! 4,8 Ton Produk Tempe Olahan UKM Indonesia Dinikmati Masyarakat Jepang
Opsi kedua, melakukan subtitusi sebagian bahan bakar batu bara dengan biomassa pada PLTU yang ada atau disebut co-firing biomassa. Saat ini sudah dilakukan uji coba co-firing biomassa sebesar 3-5% pada sejumlah pembangkit PLTU milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dengan hasil yang cukup baik.
Terbaru, International Energy Agency melaporkan, EBT merupakan sumber energi yang paling resistan terhadap pandemi COVID-19. Dalam konteks global, pengembangan energi surya masih tumbuh 1,5% pada kuartal I-2020.
Proyeksinya, lembaga tersebut optimistis pembangunan akan tetap tumbuh hingga 5% pada akhir tahun. Kendati demikian, terdapat beberapa skenario apabila pengembangan energi surya terkoreksi pandemi. (SKO)