<p>Konglomerat pemilik Grup MNC, Hary Tanoesoedibjo. / Mediacom.co.id</p>
Industri

Perjalanan Hary Tanoe &#8216;Bermain&#8217; Saham Sejak 1989 Hingga Kini Jadi Konglomerat Terkaya RI

  • Hary Tanoesoedibjo menceritakan sekilas kisah lucunya saat mulai bermain saham. Pada 1989, kata dia, pencatatan investasi saham masih dilakukan secara manual. Semua hanya dicatat pada papan tulis putih yang terpampang di kantor Bursa Efek Indonesia (BEI).

Industri
Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Author

JAKARTA – Gurita bisnis milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo (HT) tidak dibangun dalam waktu satu malam selayaknya Roro Jonggrang di Candi Prambanan. Founder and Executive Chairman MNC Group itu sudah membangun sulur-sulur bisnisnya sejak puluhan tahun silam.

Pada 1989, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Indonesia (Perindo) ini memulai kariernya dari lantai bursa. Bhakti Investama. Melalui perusahaan sekuritas miliknya dulu, Bhakti Investama, perlahan HT berhasil membangun kerajaan bisnisnya.

Induk perusahaan milik HT, yang sebelumnya bernama PT Bhakti Investama Tbk kini bernama PT MNC Investama Tbk dengan kode saham BHIT. Setidaknya, MNC Investama ini memiliki tiga sub-induk dengan masing-masing sektor unggulan.

PT Global Mediacom Tbk (BMTR) adalah induk usaha media milik MNC Group. Perusahaan ini membawahi PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN), PT MNC Vision Networks Tbk (IPTV), PT MNC Studios International Tbk (MSIN), dan PT MNC Sky Vision Tbk (MSKY).

Kemudian, PT MNC Kapital Indonesia Tbk (BCAP) adalah sub-induk usaha jasa keuangan milik Hary Tanoe. MNC Kapital ini membawahi PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP), PT MNC Sekuritas, MNC Finance, MNC Leasing, MNC Insurance, MNC Life, MNC Asset Management, MNC Teknologi Nusantara, hingga MNC Flash Mobile.

Terakhir, PT MNC Land Tbk (KPIG) menjadi induk usaha sektor properti. Ada satu lagi perusahaan maskapai penerbangan sewa milik MNC Group yang tidak masuk dalam sub-induk, PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA).

Dari gurita bisnis itu, Hary Tanoe kian kokoh menduduki peringkat 32 konglomerat paling kaya di Indonesia versi majalah Forbes 2019. Kekayaan Hary Tanoesoedibjo ditaksir mencapai US$1 miliar setara Rp14,8 triliun per akhir 2019.

Gurita bisnis Hary Tanoesoedibjo per 2020 / MNCGroup.com

Jualan Saham di Papan Tulis

Dalam kesempatan bincang-bincang bersama pelaku pasar modal, Hary Tanoesoedibjo menceritakan sekilas kisah lucunya saat mulai bermain saham. Pada 1989, kata dia, pencatatan investasi saham masih dilakukan secara manual. Semua hanya dicatat pada papan tulis putih yang terpampang di kantor Bursa Efek Indonesia (BEI).

Dia berkelakar, siapa yang paling tinggi waktu itu, maka akan dapat kesempatan lebih dulu mencatatkan pembelian sahamnya. Kisah itu, sontak membuat seluruh peserta diskusi tertawa.

“Awalnya masih pakai manual, di bursa masih pakai papan tulis putih. Jadi yang tinggi pasti yang menang duluan, karena paling cepat,” katanya, Kamis 18 September 2020.

Kala itu, sambung HT, kepemilikan saham juga masih menggunakan warkat fisik. Hal itulah yang menjadi celah bagi pelaku pasar melakukan kecurangan seperti pemalsuan warkat. Sebab pemecahan kepemilikan saham hanya mengandalkan dokumen fotokopi dan pengesahan paraf.

“Kalau sertifikat kita 10.000. Kita fotokopi, terus yang 10.000-nya kita coret. Ganti 1.000, kita paraf. Terus kita punya yang asli 10.000, kita coret jadi 9.000,” kenang dia.

Untungnya, pada 1993 BEI mulai menerapkan pencatatan scriptless atau kepemilikan saham tanpa warkat. Bahkan seiring pengembangan teknologi, sekarang transaksi saham sudah banyak dilakukan dengan aplikasi online trading.

HT mengaku cukup bersyukur atas pengembangan teknologi di bisnis pasar modal ini. Sebab, pengembangan ini bisa semakin mempercepat transaksi pasar modal. Sekaligus juga memperluas jangkaun investor dan menjaga kerahasiaan transaksi saham.

“Terjaga konfidensialitasnya, dan lebih cepat tanpa batas. Mau di seluruh wilayah Indonesia ini bisa,” tegasnya. (SKO)