Perkiraan Harga Saham BBCA Tahun 2023, Tertinggi Bisa Capai Rp11.500 per Lembar
- Harga saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) tahun ini terdampak kinerja yang diprediksi bakal moncer.
Pasar Modal
JAKARTA - Harga saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau BCA diperkirakan bisa mencapai Rp11.500 per lembar untuk level tertingginya pada tahun 2023.
Proyeksi tersebut dipaparkan oleh Investment Analyst Stockbit Academy Rahmanto Tyas Raharja yang menilai bahwa emiten-emiten perbankan berkapitalisasi pasar terbesar masih bisa melanjutkan kinerja keuangan yang impresif pada 2023 seperti tahun sebelumnya.
Dalam risetnya yang dibagikan, dikutip Rabu, 26 Juli 2023, Rahmanto memperkirakan harga saham BBCA bisa bergerak di kisaran Rp8.300 per lembar hingga Rp11.500 perlembar.
Sementara itu, pada perdagangan Rabu, 26 Juli 2023, harga saham BBCA ditutup di posisi Rp9.350 perlembar.
Menurut data RTI Business pada hari perdagangan yang sama pascapenutupan, kapitalisasi pasar BBCA tercatat sebesar Rp1,15 kuadriliun.
Sementara itu, price earning ratio (PER) BBCA berada di angka 23,85, sedangkan price to book value ratio (PBVR) saham perseroan berada di angka 5,13.
Secara year-to-date atau sejak awal tahun hingga berita ini ditulis, saham BBCA terpantau menguat 9,36% dan sebesar 28,97% jika dihitung sejak setahun terakhir.
- Apakah Uang Bawa Kebahagiaan? Berikut Penjelasannya
- Pasar Tomohon Akhiri Penjualan Daging Anjing dan Kucing
- BEI Rombak Daftar LQ45, GGRM dan MAPI jadi Konstituen Baru
Pertumbuhan Laba Bersih
Selain memperkirakan harga saham BBCA untuk tahun ini, Rahmanto pun memaparkan proyeksinya akan pertumbuhan laba bersih yang bisa dicetak bank Hartono bersaudara tersebut.
Rahmanto pun memperkirakan bahwa BCA bisa membukukan pertumbuhan laba bersih hingga 14,4% yoy atau mencapai Rp40,8 triliun.
Walaupun pertumbuhannya diperkirakan menurun karena risiko-risiko makroekonomi baik di skala global maupun domestik, namun BCA diproyeksikan bisa mencapai pertumbuhan double digit tersebut.
Sementara itu, pada semester I-2023, BCA membukukan laba bersih sebesar Rp24,2 triliun dengan kenaikan 34% yoy, yang mana capaian tersebut didukung oleh kenaikan volume kredit, perbaikan kualitas pinjaman, serta peningkatan volume transaksi dan pendanaan.
Laba bersih yang telah dicapai BCA pada paruh pertama tahun ini telah mencapai 59,3% dari perkiraan laba bersih yang diproyeksikan oleh Rahmanto.
Sementara itu, Rahmanto memprediksi penyaluran kredit bica mencapai 10%-12% setelah pada tahun sebelumnya pertumbuhan kredit BCA mencapai 11,17%.
Pada semester I-2023, BCA mencatat pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 9% yoy seiring dengan meningkatnya kredit konsumer yang naik 13,9% yoy.
- Geliat Pelaku UMKM Kian Meningkat, BRI Bidik Porsi Loan at Risk Kembali Single Digit
- OJK Tetapkan Saham Mandiri Herindo (MAHA) Sebagai Efek Syariah
- Baru IPO, Saham Sinergi Inti Andalan Prima (INET) jadi Efek Syariah
Faktor Risiko
Menurut Rahmanto ada empat risiko yang perlu diwaspadai terkait dengan kinerja keuangan emiten perbankan untuk tahun ini.
1. Makroekonomi
Rahmanto menyebutkan bahwa performa perbankan sangat berkait dengan kondisi makroekonomi secara keseluruhan. Dengan demikian, kondisi makroekonomi yang tidak menentu dapat berimbas terhadap likuiditas, kualitas aset ,hingga pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) perbankan.
Menurut Rahmanto, penyaluran kredit yang cenderung melambat sejak awal tahun ini bisa menjadi peringatan awal bagi kinerja perbankan di 2023.
"Pencapaian loan growth yang melemah sejak awal tahun hingga April 2023 dapat menjadi early warning bagi kinerja perbankan ke depannya," kata Rahmanto dikutip dari riset yang dirilis Jumat, 16 Juni 2023.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan terkait risiko makroekonomi di antaranya perlambatan ekonomi dan konsumsi hingga penurunan harga komoditas global.
Di sisi lain, katalis dari Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dapat menjadi sentimen positif dan berpotensi mendorong konsumsi pada semester II-2023 dan kuartal I-2024.
2. Likuiditas
Kondisi makroekonomi beserta kebijakan-kebijakan yang berkaitan dewasa ini dapat menyebabkan pengetatan likuiditas hingga membatasi ruang untuk bertumbuh.
Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya cost of fund yang pada gilirannya dapat menjadi penghambat pertumbuhan.
3. Net Interest Margin (NIM)
Peningkatan loan to deposit ratio (LDR) yang dialami emiten perbankan pascapandemi menandakan likuiditas yang lebih ketat, dan Rahmanto menandai hal tersebut sebagai suatu faktor yang dapat menyebabkan persaingan dalam memperebutkan likuiditas.
"Hal ini jika terjadi dapat menyebabkan kompetisi antarperbankan dalam memperebutkan DPK yang menyebabkan persaingan harga (bunga tabungan dan deposito) yang dapat membuat peningkatan cost of fund hingga menekan NIM," tutur Rahmanto.
Dikatakan olehnya, penyesuaian bunga kredit dapat menjadi salah satu fokus perbankan untuk menjaga NIM jika cost of fund mengalami kenaikan.
4. Kualitas Aset atau Nonperforming Loan (NPL)
Memburuknya kualitas aset dikatakan oleh Rahmanto dapat berimbas negatif kepada performa bank yang ditandai pula dengan meningkatnya kembali NPL pascapandemi.
"Sebagai contoh, potensi peningkatan NPL dari industri konstruksi, yang mana beberapa pemain besarnya sudah mulai default hingga dikenakan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU)," kata Rahmanto.