Pendidikan.
Nasional

Perlawanan Para Profesor Terhadap Praktik Obral Gelar

  • Belakangan ini perguruan tinggi sering memberikan gelar doktor dan profesor kehormatan kepada kalangan non-akademik. Fenomena ini menunjukkan adanya tren di mana perguruan tinggi berlomba-lomba memberikan gelar doktor honoris causa serta posisi profesor kehormatan, terutama kepada pejabat publik atau politisi.

Nasional

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Guru besar atau profesor bukanlah gelar akademik seperti sarjana, magister, atau doktor, melainkan merupakan jabatan fungsional atau posisi akademik tertinggi yang dapat dicapai oleh pendidik atau dosen.

Menurut Undang-Undang RI No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 49 menyatakan profesor adalah jabatan akademik tertinggi. Bagi akademisi (dosen), menjadi profesor adalah impian yang tertinggi.

Dalam dunia pendidikan tinggi, terdapat empat jabatan fungsional dosen, yaitu asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan jabatan tertinggi yaitu guru besar. Untuk menjadi guru besar harus memenuhi beberapa syarat. 

Hal itu seperti memiliki gelar doktor (S-3) dan memiliki karya ilmiah yang telah dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi, seperti Directory of Open Access Journals (DOAJ), Scopus, Thomson Reuters, dan lainnya. Pengajuan untuk menjadi profesor dapat dilakukan setelah minimal tiga tahun sejak lulus dari jenjang S-3.

Dilansir dari uinsgd.ac.id, gelar profesor mencerminkan pencapaian intelektual yang sejati, hasil dari kerja keras dan dedikasi dalam dunia akademik. Gelar ini menunjukkan prestasi luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan serta kontribusi nyata terhadap masyarakat, bukan sekadar sebagai penghias atau peningkat citra pribadi seseorang.

Belakangan ini perguruan tinggi sering memberikan gelar doktor dan profesor kehormatan kepada kalangan non-akademik. Fenomena ini menunjukkan adanya tren di mana perguruan tinggi berlomba-lomba memberikan gelar doktor honoris causa serta posisi profesor kehormatan, terutama kepada pejabat publik atau politisi.

Gelar Kehormatan pada Politisi

Gelar profesor adalah salah satu pencapaian tertinggi dalam dunia pendidikan. Gelar ini memiliki makna yang mendalam, tidak hanya menunjukkan pencapaian seorang akademisi dalam bidang pendidikan dan penelitian, tetapi juga membawa tanggung jawab moral dan sosial yang signifikan.

Dilansir dari Antara, Ketua Forum Guru Besar ITB Prof. Ir. Mindriany Syafila mengatakan, seorang profesor memiliki tanggung jawab tidak hanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pembinaan komunitas akademik di perguruan tinggi, tetapi juga berperan sebagai panutan moral bagi masyarakat akademis dan masyarakat secara umum.

Sebab, untuk meraih jabatan profesor, seorang dosen harus menunjukkan pencapaian ilmiah yang luar biasa dan melakukannya dengan integritas tinggi, yang memerlukan waktu yang cukup panjang.

Menengok ke belakang, Universitas Brawijaya memberikan gelar kehormatan kepada dua politisi sekaligus, yakni Siti Nurbaya Bakar yang mendapat gelar Profesor kehormatan oleh Fakultas Pertanian UB pada 25 Juni 2022. Lalu Surya Dharma Paloh, yang diberikan gelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UB pada 25 Juli 2022.

Adapun, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri dianugerahkan profesor kehormatan oleh IPDN Jatinangor (2018), dan Puan Maharani yang dianugerahkan gelar doktor kehormatan oleh UNDIP Semarang (2020), serta masih banyak politisi lainnya.

Pemberian gelar profesor pada para politisi tentu menjadi pertanyaan masyarakat. Persyaratan untuk memperoleh gelar kehormatan tidak hanya didasarkan pada jabatan publik. Namun, gelar ini diberikan kepada seseorang yang dinilai berjasa dan memiliki kontribusi luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.

Banyak penerima gelar atau jabatan akademik kehormatan ditujukan kepada tokoh politik yang memegang jabatan strategis. Tidak jelas apa alasan perguruan tinggi memberikan gelar doktor dan profesor kehormatan dengan begitu mudah kepada para pejabat politik yang kualitas akademisnya belum tentu teruji secara ilmiah.

Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Ija Suntana, menilai  penggunaan gelar profesor untuk kepentingan politik dapat mengaburkan batas antara dunia pengetahuan yang objektif dan politik yang bersifat subjektif. 

“Politisi seharusnya mengejar ambisi politik mereka melalui jalur yang sesuai dengan aturan politik, bukan dengan memanfaatkan jalur akademis, karena hal ini bisa merusak nilai-nilai akademik yang seharusnya dijaga,” ujarnya, dikutip dari uinsgd.ac.id, Selasa, 22 Oktober 2024. 

Menurut Ija, menggunakan reputasi akademik demi kepentingan politik hanya akan mengaburkan perbedaan antara kualifikasi ilmiah yang sejati dan citra politik yang dibentuk secara sengaja.

Belum lama ini, sejumlah dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) menolak pemberian gelar profesor kehormatan kepada individu non-akademik, termasuk pejabat. Penolakan ini terungkap dalam draf surat pernyataan dari berbagai dosen UGM yang tersebar di media sosial sejak 13 Februari 2023.

“Kami dosen-dosen UGM menyatakan menolak usulan pemberian gelar guru besar (profesor) kehormatan kepada individu-individu di sektor non-akademik, termasuk kepada pejabat puiblik,” bunyi surat tersebut.

Surat tersebut dibuat di Yogyakarta hampir dua bulan sebelumnya, tepatnya 22 Desember 2022, dan ditujukan kepada rektor UGM serta jajaran senat universitas tersebut.

Penolakan usulan pemberian gelar guru besar oleh dosen-dosen UGM didasarkan pada enam poin. Poin pertama menyatakan, profesor adalah jabatan akademik, bukan gelar akademik. Jabatan akademik mengharuskan pemegangnya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban akademik.

Kewajiban-kewajiban akademik tersebut, dinyatakan tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pekerjaan atau posisi di sektor non-akademik. Kedua, pemberian gelar profesor kehormatan kepada individu dari sektor non-akademik dianggap tidak sesuai dengan prinsip kepatutan. “We are selling our dignity,” tertulis dalam surat itu.

Guru Besar Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto mengatakan, pemberian gelar profesor kehormatan secara sembarangan kepada pihak non-akademik termasuk pejabat publik, jelas mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan. “Bahkan mengkhianati dedikasi para dosen yang berjuang dengan berbagai upaya untuk mencapai posisi guru besar,” katanya.

Perlawanan atas gelar doktor yang “dijual murah” juga datang dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid. Dalam surat edarannya, dia meminta agar gelar akademisnya tidak dicantumkan di dalam surat, dokumen, serta produk hukum kampusnya.

Desakralisasi Gelar Profesor

Fathul dengan tegas menolak gerakan obral profesor yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Fathul mengatakan, profesor adalah gelar tertinggi yang dapat dicapai akademisi. 

Ia menilai gerakan ini sebagai bentuk protesnya dan upaya untuk mendesakralisasi jabatan profesor di Indonesia. Fathul berharap agar gelar profesor tidak dipandang sebagai status sosial yang harus dikejar. “Jadi profesor itu ya tanggung jawab amanah. Tidak sesuatu status yang kemudian diglorifikasi, dianggap suci, sakral. Saya ingin seperti itu,” ungkapnya.

Dengan tanggung jawab yang besar, ia tidak ingin di Indonesia muncul sekelompok orang, termasuk politisi dan pejabat, yang memburu jabatan akademik tersebut dengan mengabaikan etika.