Aksi menyambut World Press Freedom Day di Indonesia.
Nasional

Perlindungan Terhadap Kebebasan Pers di Indonesia Belum Ideal

  • AJI menerangkan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers penting sebagai pendukung bagi hak asasi lainnya di Indonesia yang sedang mengalami berbagai dampak atas krisis iklim, kesenjangan ekonomi, korupsi, polarisasi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, diskriminasi pada kelompok rentan, serta maraknya gangguan informasi.

Nasional

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendorong pemerintah untuk melindungi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Tanpa komitmen perlindungan yang memadai, hak asasi manusia (HAM) bakal terus terancam oleh represi. 

Hal itu disampaikan AJI dalam peringatan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD), Rabu 3 Mei 2023. Peringatan tahun ini bertepatan dengan 30 tahun penetapan 3 Mei sebagai Hari Kemerdekaan Pers Internasional sekaligus memperingati 75 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Ketua AJI Indonesia, Sasmito, menegaskan kebebasan pers menjadi bagian penting dalam kebebasan berekspresi. Hal itu tercantum dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sasmito mengatakan keruntuhan Orde Baru sempat membawa angin segar bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.  

Namun alih-alih bergerak maju, demokrasi Indonesia kini justru mundur dengan digunakannya sejumlah regulasi untuk menghambat kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Beleid itu di antaranya UU Nomor 1 Tahun 1946, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Kominfo 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat. 

Ada pula UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta yang terkini, UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. “Kami mendesak pemerintah dan DPR mencabut atau membatalkan berbagai regulasi bermasalah yang menghambat kebebasan berekspresi serta kebebasan pers,” ujar Sasmito. 

AJI menyatakan perlidungan terhadap kebebasan pers di Indonesia masih belum ideal. Hal itu ditunjukkan dengan serangan terhadap jurnalis yang tak kunjung berakhir. Tahun 2022, AJI mencatat jumlah serangan mencapai 61 kasus dengan 97 jurnalis menjadi korban dan 14 organisasi media menjadi target serangan.  Pada Januari 2023 hingga 30 April 2023, terdapat 33 kasus, meningkat dibandingkan periode yang sama pada 2022 sebanyak 15 kasus.

UU ITE juga masih menjadi undang-undang yang berbahaya bagi jurnalis online maupun mereka yang menyampaikan kritiknya di media sosial. AJI mencatat sejak UU ITE lahir pada 2008 dan direvisi pada 2016, sedikitnya 38 jurnalis dilaporkan dengan pasal-pasal bermasalah di UU ITE, dan empat di antaranya dipenjara karena dinyatakan bersalah oleh Pengadilan. “Kami meminta Presiden RI dan kepolisian menghentikan seluruh kasus pemidanaan terhadap jurnalis dan pembela HAM karena karya jurnalistik dan ekspresinya sah,” tegas Sasmito. 

Lebih jauh, AJI menerangkan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers penting sebagai pendukung bagi hak asasi lainnya di Indonesia yang sedang mengalami berbagai dampak atas krisis iklim, kesenjangan ekonomi, korupsi, polarisasi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, diskriminasi pada kelompok rentan, serta maraknya gangguan informasi. “Hari Kemerdekaan Pers 2023 menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dan kebebasan pers saling bergantung, saling terkait, dan tak terpisahkan dengan hak asasi manusia lainnya,” ujar Sasmito.